Sabtu, 05 Februari 2011

DAULAH KHILAFAH: METODE PENERAPAN SYARIAT

Pendahuluan
Sebagai konsekuensi keimanannya kepada Allah Swt., seorang muslim wajib terikat pada syariat Islam. Karena itu, syariat Islam harus diterapkan pada semua lini kehidupan, baik dalam konteks kehidupan pribadi, kelompok, maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Semestinya tidak perlu lagi diperdebatkan  mengingat semua itu merupakan perkara yang telah jelas kewajibannya dalam agama Islam (ma’lumun mina al-dini bi adh-dharurah). Bahkan, sejatinya perwujudan utama dari misi hidup seorang muslim beribadah kepada Allah adalah dengan sebaik-baiknya menjalankan syariat, baik dalam ibadah, akhlak, makanan-minuman, pakaian, maupun dalam muamalah dan dakwah. Di samping itu, sejatinya pula   berdirinya sebuah negara dengan segenap struktur dan kewenangannya dalam pandangan Islam agar tetap dalam konteks ibadah, dan tidak lain adalah untuk menyukseskan penerapan syariat itu. 
Dengan demikian,  perjuangan bagi tegaknya syariat Islam di mana pun, termasuk di negeri ini jelas sangatlah penting.  Secara imani, perjuangan itu merupakan tuntutan akidah Islam. Secara faktual, dalam konteks Indonesia, sistem apalagi yang diharapkan mampu menyelesaikan krisis multidimensi yang kini tengah dihadapi Indonesia bila bukan syariat Islam, setelah Sosialisme hancur dan Kapitalisme terbukti makin loyo? Juga secara operasional, pemberlakuan  syariat Islam kiranya akan nyambung dengan denyut nadi iman atau keyakinan mayoritas pendudukan negeri ini yang muslim. Bila itu bisa diwujudkan, maka gagasan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara juga menjadi bagian dari ibadah setiap muslim, akan dapat diwujudkan pula secara nyata. 

Pilar Penegakan Syariat

      Secara faktual, penegakan syariat memerlukan tiga pilar, yakni ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan kewenangan negara. Untuk mewujudkan penerapan syariat secara optimal diperlukan ketiga pilar itu sekaligus. Tidak bisa hanya salah satu atau salah dua saja.  Ketakwaan individu adalah pilar dasar. Dari sinilah, dorongan  penerapan syariat Islam berasal. Individu  yang bertakwa adalah muslim yang dengan dorongan imannya tunduk kepada syariat. Kemudian, ia akan melaksanakannya dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan, baik di saat sendiri maupun ketika bersama orang lain. Ia menyadari bahwa  dengan melaksanakan syariat, misi hidupnya untuk beribadah kepada Allah Swt. dapat diwujudkan secara nyata. Dengan itu pula, ia bisa mengharapkan keridhaan Allah, ampunan,  pertolongan, serta kebaikan  hidup di dunia dan akhirat. Bila ada yang paling ditakuti, maka itu adalah murka Allah. Selain itu, bila ada yang paling diingini, maka itu adalah ampunan dan keridhaan-Nya. Bagi orang yang bertakwa, melaksanakan syariat sama sekali tidak dirasakan sebagai beban. Justru sebaliknya, ia akan merasa amat berat bila harus meninggalkan syariat. Dengan melaksanakan syariat, ia merasakan kelezatan dan kenikmatan. Sebaliknya, meninggalkan syariat merupakan siksakan yang terasa getir, pahit dan menyiksa. Tentu, orang seperti ini  akan menjemput syariat dengan penuh rasa gembira, bukan malah lari meninggalkannya, sebagaimana tampak pada seorang wanita, al-Ghamidiyah dan seorang lelaki bernama Maiz bin Malik al-Aslami.
Dengan dorongan ketakwaannya,  al-Ghamidiyah  datang kepada Rasul menyatakan penyesalannya atas perbuatan maksiatnya di masa lalu dan karenanya ia meminta untuk dirajam. “Tahhirniy (sucikan aku), ya Rasulallah”, serunya kepada Nabi.  Untuk meyakinkan, al-Ghamidiyah menunjukkan kehamilannya. Rasul yang semula kurang percaya, akhirnya meminta al-Ghamidiyah datang setelah melahirkan. Benar, setelah melahirkan al-Ghamidiyah datang membawa bayi. Namun, hukuman tidak langsung dilakukan, Rasul meminta al-Ghamidiyah menyelesaikan susuannya. Kira-kira dua tahun kemudian, al-Ghamidiyah datang lagi kepada Rasul seraya menggandeng anak kecil yang sudah bisa berjalan dan memakan roti. Barulah Rasul benar-benar melaksanakan hukuman rajam. Jadi praktis, al-Ghamidiyah harus menunggu hampir 3 tahun dengan penuh kesabaran untuk hukuman itu, seolah menunggu berkat besar yang akan diterimanya. Ketika mendengar ucapan sahabat yang kurang pantas akibat terciprat darah al-Ghamidiyah saat dirajam, Rasul menasihati untuk tidak mengatakan yang demikian, seraya mengatakan, “qad tabat taubatan law qusimat bayna sab’ina min  ahli madinah lawasa’athum”!
Demikian pula dengan Maiz bin Malik al-Aslami, bahkan untuk meyakinkan Rasul, ia sampai bersumpah empat kali. Untuk memastikan, Rasul menanyai Maiz berulang-ulang, “Tahukah engkau apa itu zina? Apakah yang kau lakukan seperti memasukkan celak ke dalam tempatnya? Apakah yang kau lakukan seperti memasukkan anak timba ke dalam sumur?” Semua dijawab dengan anggukan, “ya”. Heran dengan kekukuhan Maiz meminta untuk dirajam, Nabi bertanya menyelidik, “ma dza turid bi hadza al-qaul?”, yang dijawab Maiz dengan “uridu an tutahhiraniy (aku ingin engkau menyucikan aku)”.
Maiz dan al-Ghamidiyah ngotot menyongsong hukuman rajam, bukan menghindari. Sebenarnya banyak peluang yang mereka bisa ambil untuk menghindari hukuman itu (seperti kata shahabat  kepada Maiz andai ia bersumpah tiga kali saja, tentu ia tidak perlu dirajam) atau melarikan diri (al-Ghamidiyah punya kesempatan tiga tahun), tapi semua tidak mereka lakukan, karena yakin hanya dengan cara seperti itu (melaksanakan syariat rajam) sajalah mereka terbebas dari hukuman yang lebih berat di akhirat nanti.
Demikianlah ketakwaan mendorong seseorang untuk tunduk pada syariat dengan penuh kerelaan. Sementara itu, kontrol masyarakat  hanya mungkin lahir dari individu-individu yang bertakwa, demikian pula lahirnya negara yang menerapkan syariat juga berawal dari dorongan individu yang bertakwa. Akan tetapi, takwa individu saja tidak cukup karena  tanpa kontrol dari masyarakat bisa saja individu yang semula taat pada syariat, karena berbagai faktor dengan mudah  melakukan maksiat.
Kontrol masyarakat timbul dari semangat amar makruf nahi munkar, yakni  keinginan agar  orang lain  juga bersedia tunduk pada syariat dan terhindar dari maksiat. Salah satu ciri keimanan seorang muslim memang adalah adanya keinginan pada orang itu agar orang lain merasakan kebaikan sebagaimana yang dirasakannya. Tegasnya, kontrol masyarakat sesungguhnya berpangkal pada cinta dan rasa solidaritas pada sesama.  Dengan   kontrol dari masyarakat, orang yang akan melanggar syariat tidak mungkin dapat melakukannya secara leluasa.  Apalagi kontrol masyarakat tersebut bukan semata lahir dari kepentingan pribadi, melainkan mewujud dari akidah.  Allah Swt. dalam banyak ayat menunjukkan bahwa salah satu ciri orang beriman adalah senantiasa melakukan amar makruf nahi munkar.  Secara spesifik Allah Swt. menegaskan:

﴿وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ﴾
Hendaklah ada sekelompok umat di antara kalian yang mendakwahkan kebaikan (Islam), beramar makruf dan melakukan nahi munkar; dan mereka itulah orang-orang yang beruntung(TQS Ali ‘Imrân [3]:104).

Sementara itu,  dalam kehidupan jahiliah di mana syariat  tidak diterapkan, individu yang bertakwa menjadi berat melaksanakan syariat, merasa asing, dan mengalami godaan terus-menerus untuk meninggalkan syariat. Di sisi lain,  dalam kehidupan seperti itu, justru orang yang tidak bertakwa bisa hidup leluasa, bebas, serta seolah mendapatkan dukungan dari lingkungan dan negara untuk mengabaikan syariat. Bahkan, amat sering terjadi, negara jahiliah justru memerangi muslim yang bertakwa yang berusaha mengamalkan syariat, sebagaimana pernah terjadi pada kasus jilbab dan sebagainya.
Secara individual sekarang pun tidak terlalu sulit untuk melaksanakan syariat Islam.  Shalat, shaum, berbakti pada orang tua, dan yang lainnya dapat dilaksanakan.  Namun, ketika negara tidak menerapkan syariat Islam, tidak dapat dikondisikan setiap orang untuk shalat, penuh ketaatan menunaikan shaum, dan penuh kesadaran berbakti kepada orang tua.  Orang dapat saja menghindarkan diri dari riba, tapi tidak dapat melenyapkan riba dari kehidupan masyarakat tanpa adanya peran negara.  Begitu pula, seseorang dapat menghindari untuk tidak mengelola sumber daya alam milik umum, seperti listrik, air, laut, dan barang tambang.  Namun, tanpa negara yang menerapkan syariat Islam tidak ada yang dapat menghentikan privatisasi barang-barang milik rakyat tersebut kepada swasta, baik lokal maupun asing.  Begitu pula dalam persoalan lainnya. Di sinilah peran negara dalam menerapkan syariat Islam.  Demikian pulalah yang dicontohkan Rasulullah saw., dengan membentuk masyarakat atas dasar Islam di Madinah melalui ditegakkannya Negara di sana.
Berdasarkan hal tersebut, agar dapat menerapkan syariat Islam secara kaffah haruslah diwujudkan individu-individu yang takwa.  Bukan sekadar individu-individu yang saleh secara pribadi, melainkan juga berupaya untuk membuat saleh orang lain (mushlih), serta bersama-sama mewujudkan kehidupan Islam dalam rangka membentuk individu-individu saleh tadi.  Tidak sekadar itu, wajib diwujudkan pula masyarakat yang terbiasa melakukan amar makruf nahi munkar.  Tanpa hal itu, kontrol sosial tidak akan terlaksana.  Last but not least, setiap komponen umat Islam berjuang bersama mewujudkan kehidupan Islam melalui tegaknya Daulah Khilafah.
Tampaklah, secara internal setiap individu--karena ketakwaannya--selalu menerapkan syariat Islam, masyarakat pun saling memberi kontrol antarsesamanya, serta negara menerapkan aturan-aturan Islam dalam mengurusi berbagai kepentingan masyarakat, termasuk memberikan sanksi kepada siapa pun yang melanggar aturan tersebut.  Bila negara melakukan kezaliman, maka rakyat, baik secara individual maupun kolektif melakukan koreksi (muhâsabah) kepada penguasanya.  Dengan demikian, syariat Islam itu akan dilakukan oleh tiga komponen, yaitu individu, masyarakat kolektif, serta negara.  Penjagaan kelestarian penerapan syariat Islam pun dijaga oleh setiap komponen tersebut.  Hal ini ditunjukkan dengan adanya fungsi kontrol dari setiap komponen.  Konsekuensi dari metode penerapan Islam seperti ini adalah terlaksananya penerapan Islam secara lestari di tengah-tengah masyarakat.  Secara ringkas hal ini dapat digambarkan dalam bagan berikut.



 











Perangkat Penerapan Islam

      Penerapan syariat Islam secara praktis harus dimulai dengan pembaiatan seorang khalifah atas dasar al-Quran dan Sunah.  Setiap muslim yang berakal, balig, adil, merdeka, dan laki-laki bisa dibaiat menjadi seorang khalifah bagi kaum muslim.   Setiap negeri muslim yang kekuasaannya ada di tangan kaum muslim saja dan tidak berada di bawah kekuasaan negara lain, dan keamanan intern ataupun eksternnya berada dalam keamanan Islam dan kaum muslim, maka negeri semacam ini layak dijadikan tempat untuk melangsungkan “bai’at pengangkatan” khalifah (bai’at in’iqad), serta layak menjadi pusat Daulah Islam.
      Jika di negeri tersebut khalifah telah dibaiat dengan bai’at in’iqad atas dasar keridhaan dan pilihan oleh ahlul halli wal ‘aqdi; selanjutnya ia dibaiat dengan bai’at ta’at oleh kaum muslim, ketika dalam baiat ketaatan itu, kaum muslim berjanji untuk tidak melakukan kemaksiatan (membangkang) kepada khalifah, maka syarat-syarat berdirinya Daulah Khilafah telah terpenuhi.  Yaitu terpenuhi dari sisi, (1) kedaulatan ada di tangan syara’, (2) kekuasaan ada di tangan umat, serta (3) diangkatnya seorang khalifah saja yang akan melegalkan hukum-hukum syara’ yang bersumber dari al-Quran, Sunah, Ijma’ sahabat, dan qiyas.    Ketika Daulah Khilafah telah tegak, dengan segara hukum-hukum Islam diberlakukan secara menyeluruh dan praktis di tengah-tengah umat.  Hukum Islam tidak akan diterapkan secara berangsur-angsur dan gradual.
      Setelah proses pembaiatannya selesai, khalifah segera menyusun struktur negara.  Struktur negara dalam Islam berbeda dengan struktur pemerintahan yang ada di dalam sistem kenegaraan kapitalis dan sosialis.  Aturan-aturan yang diterapkan di Daulah Islam juga berbeda dengan aturan-aturan lainnya.    Struktur negara yang telah ditetapkan Islam adalah sebagai berikut:
  1. Khalifah adalah kepala negara sekaligus wakil rakyat dalam hal kekuasaan dan pelaksanaan hukum syara’.
  2. Syarat wazir atau mu’awin tafwidh haruslah seorang laki-laki, muslim, berakal, balig, merdeka, dan adil, termasuk orang yang mampu melaksanakan tugas-tugas yang dilimpahkan kepadanya.   Pengangkatan mu’awin tafwidh oleh seorang khalifah harus memenuhi dua perkara.  Pertama, kewenangan yang diberikan kepada mu’awin tafwidh harus bersifat umum (‘umum al-nadhr).  Kedua, harus ada aspek perwakilan (niyabah).[1]     Oleh karena itu, mu’awin tafwidh akan membantu khalifah pada semua urusan negara.  Ia juga akan melaksanakan semua perintah khalifah.  Tugasnya adalah, menyampaikan seluruh laporan mengenai tugas-tugas kenegaraan kepada khalifah.   Ia juga bertugas melaksanakan tugas-tugas yang dilimpahkan khalifah.   Sebab, mu’awin tafwidh merupakan pembantu khalifah dalam urusan kekuasaan.
  3. Mu’awin tanfidz diangkat oleh khalifah dalam kapasitasnya sebagai pembantu khalifah.  Akan tetapi, ia hanya membantu khalifah dalam perkara-perkara operasional administratif, bukan dalam perkara-perkara kekuasaan.  Tugas mu’awin tanfidz termasuk tugas administratif.   Mu’awin tanfidz bertugas melaksanakan tugas-tugas administratif dari khalifah yang ditujukan kepada  departemen-departemen intern--yang tercakup dalam struktur negara--ataupun ekstern.  Ia juga bertugas menyampaikan perkara-perkara yang berasal dari departemen-departemen tersebut kepada khalifah.   Mu’awin tanfidz tak ubahnya sebagai penghubung antara khalifah dengan struktur-struktur negara lainnya,  baik dalam perkara yang berasal dari khalifah maupun yang hendak disampaikan kepada khalifah.  Syarat mu’awin tanfidz haruslah seorang muslim.  Sebab, ia termasuk orang kepercayaan dari khalifah. 
  4. Amirul Jihad;  departemennya tersusun oleh empat departemen, yaitu: (1) Departemen Dalam Negeri, (2) Departemen Luar Negeri, (3) Departemen Keamanan Dalam Negeri, serta (4) Departemen Perindustrian.  Empat departemen ini dikontrol dan dipimpin oleh amirul jihad.  Empat departemen ini didirikan dengan asas jihad.   Perang dan keamanan dalam negeri mutlak membutuhkan kekuatan pasukan yang termanifestasikan pada kekuatan tentara dan polisi.   Untuk masalah luar negeri, landasan hubungan antara Daulah Islam dengan negara-negara lain adalah menyebarkan dakwah Islam.  Metode dasar untuk menyebarkan dakwah Islam adalah jihad.    Untuk masalah perindustrian,   semua jenis industri harus didirikan di atas dasar kepentingan politik luar negeri.   Pengawasan perindustrian untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan negara lain harus berjalan sesuai dengan asas di atas (jihad). 
Di dalam Islam, jihad merupakan unsur terpenting.  Bahkan, ia merupakan pilar paling pokok bagi Negara Islam.  Oleh karena itu, negara harus memberikan porsi perhatian yang sangat besar dalam masalah ini.   Negara bisa memberlakukan wajib militer bagi laki-laki muslim yang umurnya telah mencapai 15 tahun.  Negara wajib membuat persiapan untuk melakukan jihad.   Atas dasar itu, Daulah Islam harus berusaha semaksimal mungkin untuk mempersiapkan persenjataan, akomodasi dan perlengkapan, serta hal-hal yang dibutuhkan oleh pasukan.   Ini dilakukan agar mereka bisa menunaikan tugasnya sebagai tentara Islam.  Tentara Islam yang selalu menjaga negaranya, mengokohkan kekuasaannya, serta mengibarkan panji “La Ilaha Illa al-Allah”  ke seluruh penjuru alam.  Metode untuk meraih semua ini adalah dengan jihad.
  1. Peradilan adalah penyampaian hukum yang bersifat mengikat.  Qadhi ada tiga macam:
Pertama, qadhi yang bertugas menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara masyarakat, baik dalam perkara muamalah, pidana, kedua, qadhi yang bertugas menyelesaikan perkara yang menyangkut pelanggaran terhadap hak-hak umum (muhtasib).
Ketiga, qadhi madzalim, yakni qadhi yang bertugas menyelesaikan sengketa yang terjadi antara masyarakat dengan negara.    Syarat untuk qadhi-qadhi di atas adalah muslim, merdeka, balig, berakal, adil, dan fakih dalam menerapkan hukum di atas kasus yang terjadi.    Adapun dua syarat yang harus dimiliki oleh qadhi madzalim adalah laki-laki dan mujtahid.  
Peradilan dalam Islam ditinjau dari sisi keputusan peradilannya merupakan keputusan tingkat pertama.  Tidak ada keputusan tingkat banding, ataupun keputusan tingkat kasasi.    Setiap qadhi diangkat dan diberhentikan oleh khalifah atau qadhi qudhah,  kecuali pemberhentian qadhi madzalim.    Tak seorang pun memiliki wewenang untuk memberhentikan qadhi madzalim.   Yang berhak memberhentikan qadhi madzalim adalah Mahkamah Madzalim.   Sebab, tugas qadhi madzalim berhubungan dengan penyelesaian kezaliman yang menimpa seseorang yang hidup di bawah kekuasaan Negara Islam.  Sama saja apakah kezaliman itu berasal dari khalifah, penguasa negara lain, ataupun pegawai negara.  Mahkamah Madzalim juga memiliki wewenang mengontrol penyimpangan khalifah terhadap hukum syara’.  Termasuk juga penyimpangan khalifah dalam menafsirkan nas-nas syara’ atau hukum-hukum syara’ yang dilegalkan oleh khalifah, ataupun penyimpangan lainnya.   
  1. Wali
Khalifah mengangkat seorang wali pada wilayah Daulah Khilafah, dari kalangan laki-laki muslim yang merdeka, balig, berakal, adil, termasuk orang yang memiliki kemampuan, serta bertakwa dan memiliki kekuatan.   Wali memiliki wewenang kekuasaan dan kontrol untuk seluruh departemen-departemen di wilayahnya, sebagai wakil dari khalifah.  Wali memiliki wewenang untuk memerintah masyarakat di wilayahnya, kecuali dalam masalah keuangan, peradilan, dan pasukan yang berhubungan dengan khalifah dan struktur negara lainnya.   Akan tetapi, dari sisi pelaksanaan bukan dari sisi administratif, kepolisian berada di bawah komandonya.  Hendaknya khalifah tidak memberikan jabatan kewalian kepada seseorang dalam jangka waktu yang lama.    Khalifah harus menggantinya jika wali tersebut mulai memiliki pengaruh luas di wilayahnya, dan masyarakat mulai memberikan loyalitas kepadanya. 
  1. Struktur Administrasi
Struktur administrasi merupakan perwujudan (refleksi) dari kemaslahatan departemental dan administratif yang mengurusi seluruh administrasi urusan negara serta kepentingan rakyat.    Setiap orang warga negara yang memiliki kemampuan, baik laki-laki maupun wanita, muslim maupun nonmuslim layak diangkat menjadi direktur untuk mengurusi suatu urusan negara, atau untuk mengurus administrasi urusan negara.  Mereka juga berhak menjadi pegawai dalam departemen ini.
  1. Majelis Umat
Majelis umat merupakan akumulasi dari kaum muslim dalam urusan pengambilan pendapat yang akan disampaikan kepada khalifah.  Nonmuslim boleh menjadi anggota Majelis Umat, tapi sekadar untuk menyampaikan dakwaan-dakwaan yang berkenaan dengan kezaliman yang dilakukan oleh penguasa; atau menyampaikan hal-hal yang berhubungan dengan buruknya penerapan hukum Islam oleh negara.    Oleh karena itu, setiap warga negara, laki-laki maupun wanita, muslim ataupun kafir, berhak menjadi anggota majelis umat, jika ia telah balig dan berakal.  Majelis umat memiliki empat kewenangan berikut.
1.      a.   Setiap perkara-perkara internal negara yang berhubungan dengan musyawarah, maka pendapat Majelis Umat harus diambil.  Misalnya, dalam perkara pengaturan urusan pemerintahan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lain-lain, pendapat Majelis Umat bersifat mengikat.   Akan tetapi, semua perkara yang tidak berhubungan dengan musyawarah, maka pendapat Majelis Umat tidak harus diambil, misalnya dalam hal kebijakan politik luar negeri, finansial, atau tentara.
b. Majelis Umat memiliki hak untuk mengoreksi seluruh kerja yang terjadi secara langsung di dalam negara, baik perkara internal, eksternal , finansial, maupun ketentaraan.    Pendapat Majelis Umat mengikat selama tidak bertentangan dengan hukum syara’.   Jika Majelis Umat berselisih dengan pemerintah dalam suatu aktivitas yang ditinjau dari hukum syara’, masalah semacam ini dikembalikan kepada Mahkamah Madzalim.  
2.      Majelis Umat berhak memperlihatkan keberatannya atas (diangkatnya) wali, ataupun pembantu-pembantu khalifah.   Pendapat Majelis Umat dalam masalah ini bersifat mengikat.  Dalam kondisi semacam ini, khalifah harus memberhentikan pengangkatan wali dan pembantu-pembantu yang tidak disetujui oleh Majelis Umat.
3.      Keputusan-keputusan yang akan dilegalkan dalam perundang-undangan atau konstitusi negara disampaikan khalifah kepada Majelis Umat (MU).  Kaum muslim yang menjadi anggota MU berhak mendiskusikan keputusan-keputusan tersebut dan memberikan pendapatnya dalam masalah ini.  Namun, pendapat  MU dalam masalah ini tidak mengikat khalifah.
4.      Kaum muslim yang menjadi anggota MU berhak membatasi jumlah orang yang akan dipilih menjadi khalifah.  Pendapat mereka dalam masalah ini mengikat.  
  1. Departemen Baitul Mal secara langsung diatur dan dikontrol oleh khalifah.  Khalifah berwenang mengangkat seseorang untuk mengurus Baitul Mal.
Departemen Baitul  Mal akan mengumpulkan semua pendapatan berupa harta yang akan didistribusikan kepada kaum muslim berdasarkan keputusan khalifah.  Adapun pendapatan yang akan dikoleksi oleh departemen Baitul Mal adalah sebagai berikut.
    1. Harta rampasan perang, ghanimah, fa’i, dan khumus.
    2. Kharaj, jizyah, harta kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.
    3. ‘Usyur, harta gelap yang disita dari penguasa dan pejabat negara, harta sitaan yang diperoleh dari pekerjaan yang tidak disyariatkan, denda, atau seperlima harta dari rikaz dan barang tambang, serta harta-harta yang tidak memiliki ahli waris, harta orang murtad, dan sebagainya.
    4. Pajak yang dibebankan negara kepada rakyat dalam kondisi yang darurat, harta-harta yang diperoleh dari sedekah, dan hadiah. 
  1. Radio dan televisi dibawah kontrol langsung khalifah.  Khalifah berwenang mengangkat seseorang untuk mengontrol radio dan televisi agar tetap berada dalam kerangka aturan-aturan Islam.

Setelah struktur tersebut terbentuk, tinggallah Khalifah menyusun dustûr (UUD) syariat.  Sebab, pada dasarnya, penerapan syariat Islam adalah upaya menjadikan syariat Islam sebagai konstitusi (dustûr) dan undang-undang negara (qânûn).   Konstitusi syariat adalah, upaya untuk menjadikan syariat Islam sebagai undang-undang dasar negara.  Adapun undang-undang negara adalah seluruh aturan yang lahir dari konstitusi negara.   Konstitusi syariat hanya memuat pokok-pokok terpenting dari syariat Islam yang bisa menggambarkan syariat Islam secara utuh dan menyeluruh, meskipun dengan redaksi yang global dan ringkas. Di situlah sebenarnya, metode penerapan Islam dalam berbagai bidang dipaparkan.

Metode Penyelesaian Persoalan
      Banyak ragam persoalan yang akan muncul saat tumbangnya sistem kufur dan tegaknya sistem Islam.  Di antaranya adalah:
  1. Persoalan yang terjadi sebelum berdirinya Daulah Khilafah dan telah diputuskan oleh pemerintahan sebelumnya. 
  2. Persoalan yang terjadi sebelum Daulah Khilafah berdiri dan belum diputuskan oleh pemerintahan sebelumnya.
  3. Persoalan yang terjadi setelah Daulah Khilafah berdiri.
  4. Pidana yang dilakukan oleh aparatur pelaksana negara sebelumnya dan juga kroni-kroninya yang merugikan atau menikam Islam dan kaum muslim, atau menyebabkan lenyap dan bangkrutnya harta kaum muslim.
  5. Pidana yang dilakukan oleh sekelompok individu masyarakat yang belum diselesaikan oleh pemerintahan sebelumnya, tetapi pidana tersebut berhubungan dengan pelunasan harta bagi individu yang lain, misalnya pencurian, gasab, dan membayar denda.
  6. Pidana yang dilakukan yang dilakukan sekelompok individu masyarakat yang belum diselesaikan oleh pemerintahan sebelumnya dan tidak berhubungan dengan pelunasan harta bagi individu yang lain, semisal, minum khamar, tidak mengerjakan puasa dan shalat sebelum khilafah berdiri.
  7. Transaksi-transaksi ekonomi yang bertentangan dengan Islam yang diterapkan di masyarakat dan belum dihapus sebelum Daulah Islam berdiri.
  8. Perjanjian-perjanjian atau traktat-traktat yang dibuat oleh pemerintahan sebelumnya dengan lembaga-lembaga internasional ataupun regional.

      Adapun persoalan yang terjadi sebelum berdirinya Daulah Islam dan telah diputuskan oleh pemerintahan sebelumnya; juga pidana yang dilakukan oleh sekelompok individu masyarakat yang tidak berhubungan dengan pelunasan harta bagi pihak lain; maka persoalan-persoalan semacam ini tidak akan diungkit lagi (dibuka kembali) setelah berdirinya Daulah Khilafah.  Urusan mereka diserahkan kepada Allah Swt.  Sebab, persoalan tersebut terjadi sebelum hukum-hukum Islam diterapkan secara praktis. 
      Adapun persoalan-persoalan yang terjadi sebelum berdirinya Daulah dan belum diputuskan oleh pemerintahan sebelumnya; demikian juga persoalan yang terjadi setelah Daulah Khilafah berdiri, maka persoalan-persoalan semacam ini diselesaikan sesuai dengan hukum Islam.
      Pidana yang dilakukan oleh sekelompok individu masyarakat dan belum diselesaikan oleh pemerintahan sebelumnya, tetapi berkaitan dengan pelunasan harta bagi pihak lain, maka akan dibuka persidangan untuk menghukumi pelanggarnya agar ia mengembalikan harta kepada pemilik yang sah.
      Adapun pidana yang dilakukan oleh aparatur pelaksana pemerintahan sebelumnya yang menikam Islam dan kaum muslim serta yang menyebabkan lenyap dan bangkrutnya harta kaum muslim, sama saja apakah dilakukan oleh penguasa ataupun kroninya, maka akan digelar sidang untuk memperkarakan mereka.   Hukum syara’ akan diterapkan bagi mereka sebagai balasan atas kezaliman yang mereka perbuat.
      Sementara itu, transaksi ekonomi yang bertentangan dengan Islam yang diterapkan sebelum berdirinya Daulah Islam dan belum dihapus oleh pemerintahan sebelumnya, diberlakukan hukum-hukum Islam sebagai berikut.
  1. Institusi-institusi ribawi, seperti bank dan lain-lain, maka aset-asetnya disita, lalu ditutup.  Kemudian, modal awal dikembalikan kepada pemiliknya tanpa ada tambahan.  Sisa yang ada dihitung dan dibagi kepada pemilik saham atau para peserikat.  Keputusan ini berlaku sejak berdirinya Daulah Khilafah.
  2. Syirkah-syirkah pengelolaan yang terjadi pada harta-harta kepemilikan umum, seperti fosfat, minyak, potasium, besi dan lain-lain; dalam hal ini kepemilikan individu yang ada di dalamnya dihapus sesuai dengan nilai yang terkandung dalam syirkah itu, sehingga bisa dipisahkan dengan nilai kepemilikan umum tersebut.   Peserikat akan mendapatkan kembali sesuai dengan modal yang disetornya.  Pengelola, sebagai lembaga yang menangani kepemilikan umum tetap dalam pengaturan negara, sebagai wakil dari umat, pemilik sah harta kepemilikan umum.  
  3. Syirkah-syirkah pengelolaan yang terjadi pada kepemilikan khusus yang berbentuk syirkah saham dengan akad yang bertentangan dengan syara’; maka asetnya disita.  Sebab, akad semacam ini adalah akad batil.  Jika peserikat membuat kesepakatan baru dengan akad syar’I, maka syirkah ini bisa berjalan terus.
  4. Industri yang menggarap kepemilikan umum, seperti industri petrokimia, industri berbahan baku besi, industri penambangan besi, dan lain-lain, maka kepemilikan individu di dalamnya dihapus, seperti yang telah dijelaskan pada syirkah pengelolaan yang terjadi pada kepemilikan umum.  Industri-industri itu tetap di bawah pengaturan negara sebagai wakil umat, pemilik yang memiliki kepemilikan umum. 
  5. Industri yang menggarap kepemilikan khusus, tetapi dengan akad yang bertentangan dengan syara’, misalnya industri penenunan dan tekstil, serta industri yang didirikan untuk mengolah bijih besi, maka akad-akad yang bertentangan dengan hukum syara’ itu dihapuskan.  Pemiliknya bisa terus mengoperasikan industrinya setelah akadnya diperbarui sesuai dengan hukum syara’.
  6. Kepemilikan khusus yang dijalankan dengan memanfaatkan kepemilikan umum, maka kepemilikan khusus tersebut dihapus.  Kepemilikan tersebut diserahkan kepada negara (pihak pengatur) sebagai wakil dari umat, pemilik sah yang memiliki kepemilikan tersebut.  Contohnya, kereta api, PLN, dan KRL.  Sebab, untuk mengoperasikan alat-alat ini memakai jalan-jalan umum (fasilitas umum). 
    Adapun mengenai perjanjian-perjanjian dan traktat-traktat yang dibuat oleh aparatur pelaksana negara sebelumnya dengan lembaga-lembaga internasional ataupun regional, maka perjanjian-perjanjian semacam ini harus segera dihapus.  Sebab, kaum muslim tidak boleh bergabung dengan lembaga-lembaga internasional ataupun regional, seperti PBB, Bank Dunia, IMF, dan lain-lain.  Lembaga-lembaga ini berdiri di atas asas yang bertentangan dengan hukum Islam.  Selain itu, lembaga-lembaga ini merupakan alat politik negara besar, khususnya AS.  AS telah memanfaatkan lembaga-lembaga ini untuk meraih kepentingan-kepentingan khusus mereka.  Lembaga-lembaga ini merupakan media untuk menciptakan dominasi kaum kafir atas kaum muslim dan Negara Islam.  Oleh karena itu, secara syar’i hal ini tidak diperbolehkan.  Sebab, “al-wasiilat ila al-haram muharramun”.
    Kaum muslim tidak boleh bergabung dalam lembaga-lembaga persekutuan-persekutuan regional, semacam Liga Arab, OKI, dan Pakta Pertahanan Multinasional.  Lembaga-lembaga semacam ini juga berdiri di atas asas yang bertentangan dengan Islam.  Selain itu, lembaga-lembaga ini telah mengerat-ngerat negeri-negeri kaum muslim.  Hal mendasar yang perlu diketahui adalah, Daulah Khilafah akan berhubungan dengan negara-negara lain, berdasarkan hal-hal berikut.
1.      Negara-negara yang berdiri di negeri-negeri Islam, hubungan dengan mereka dianggap sebagai bagian dari hubungan politik dalam negeri.  Harus ada upaya untuk  menggabungkan negara-negara tersebut ke dalam Daulah Khilafah.  Oleh karena itu, Daulah Khilafah tidak akan menjalin hubungan diplomatik dengan mereka.  Daulah Khilafah juga tidak akan membuat perjanjian dengan mereka. Sama saja, apakah penguasa negara mereka, kafir atau muslim.
2.      Negara-negara lain yang terdapat di belahan barat dan timur semuanya dianggap darul kufur, dan darul harbi hukman.  Hubungan dengan negara-negara seperti ini, dianggap sebagai bagian dari politik luar negeri.  Interaksi dengan mereka diatur sesuai dengan faktor-faktor yang mendukung jihad, serta agar kepentingan kaum muslim dan negara Khilafah bisa terwujud sejalan dengan hukum syara’.
3.      Boleh menjalin kesepakatan dengan negara-negara semacam ini dalam bentuk kesepekatan-kesepakatan ‘bertetangga baik’, serta perjanjian perjanjian lain yang dibolehkan hukum Islam.  Namun, agar perjanjian ini bisa tetap dibatasi (diatur) dan agar akad perjanjian tersebut sesuai dengan kepentingan jihad, kemaslahatan kaum muslim, dan Daulah Khilafah, maka akan dibuka  hubungan diplomatik sesuai dengan asumsi-asumsi di atas. 
4.       Negara-negara lain yang tidak ada perjanjian ataupun kesepakatan dengan Daulah Khilafah; dan negara-negara imperialis, seperti AS, Inggris, Prancis, dan negara-negara rakus yang mencaplok negeri-negeri kaum muslim, seperti Rusia, maka dianggap sebagai negara kafir harbi hukman.   Dengan demikian, akan diambil tindakan-tindakan atas mereka sesuai dengan status mereka.  Tidak boleh dibuka hubungan diplomatik dengan mereka, dan tidak dibuka kedutaan-kedutaan mereka di Daulah Khilafah. 
5.      Negara-negara muharrib fi’lan, seperti Israel, maka diproklamasikan kondisi perang kepada mereka, sebagai asas untuk berinteraksi secara menyeluruh dengan mereka.    Penduduk negaranya mereka dilarang masuk ke dalam Daulah Khilafah.  Harta dan jiwa mereka dihalalkan bagi kaum muslim.    Negara Khilafah akan menggerakkan kaum muslim untuk berperang dan menghancurkan mereka secara total.  Kaum muslim diharamkan secara  mutlak membuat perjanjian damai dengan mereka.  Sebab, mereka adalah bangsa perampas dan perampok.
6.      Daulah Khilafah tidak boleh menandatangani kerja sama-kerja sama militer dengan negara-negara lain, seperti perjanjian timbal balik pertahanan dan keamanan, ataupun kerja sama-kerja sama militer lainnya.  Sebab, kaum muslim diharamkan berperang di bawah panji kekufuran, serta berperang di bawah kekuasaan kafir dan negara kafir; ataupun menjadikan  orang kafir menguasai kaum muslim dan bumi Islam.  Daulah Khilafah tidak boleh bersekongkol dengan negara-negara kafir atau dengan tentara-tentara kafir.  Rasulullah saw. telah melarang kaum muslim melakukan hal tersebut.  Beliau saw. telah melarang kaum muslim meminta bantuan militer kepada orang-orang musyrik.   Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu meminta penerangan dengan apinya orang-orang musyrik.”   Api merupakan kiasan dari perang. 
Jihad merupakan landasan dasar hubungan Daulah Khilafah dengan negara lain.   Jihad merupakan puncak ibadah di dalam Islam.   Definisi jihad secara syar’i adalah mencurahkan segenap kemampuan di dalam perang di jalan Allah untuk menegakkan kalimat Allah dan menyebarkan dakwah Islam secara langsung, atau dengan cara memberikan bantuan harta, pendapat, akomodasi, atau yang lain.”   Oleh karena itu, perang untuk menegakkan kalimat Allah dan menyebarkan Islam merupakan jihad.  Memulai jihad hukumnya fardhu kifayah.  Dengan kata lain, Daulah Khilafah mengawali untuk menyerang musuh jika mereka tidak menyerang terlebih dahulu.  Jika sebagian kaum muslim tidak mampu untuk mengawali penyerangan, maka seluruh kaum muslim berdosa jika meninggalkan jihad tersebut.  Jihad menjadi fardhu ‘ain jika musuh memulai menyerang kaum muslim.  Walhasil, jihad bukanlah perang defensif, tetapi itu adalah perang untuk menegakkan kalimat Allah.  Seandainya orang kafir tidak menyerang, maka harus diawali dengan mengemban Islam dan menyampaikan dakwah kepada mereka.   Langkah semacam ini telah ditetapkan berdasarkan al-Quran, Sunah, dan Ijma’ sahabat.   Hal ini juga telah disaksikan oleh negara yang dahulu ditaklukkan oleh tentara Islam.
      Demikianlah sekilas metode penerapan syariat Islam Kaffah. Wallahu a‘lam bi ash-shawwab




[1] Wewenang yang diberikan kepada mu’awin tafwidh harus bersifat umum atau menyeluruh, tidak boleh dibatasi dengan batasan-batasan tertentu.  Pengangkatan mu’awin tafwidh harus memenuhi pula syarat niyabah (perwakilan), yang menunjukkan bahwa mu’awin tafwidh tersebut merupakan wakil dari khalifah. 

SYARIAT ISLAM DALAM POLITIK LUAR NEGERI


Pendahuluan
Peristiwa ledakan bom di gedung WTC, 11 September 2001 yang lalu  cukup memberikan pengaruh pada situasi politik internasional belakangan ini. Ditandai dengan serangan besar-besaran oleh Amerika Serikat terhadap Afghanistan yang pada akhirnya menumbangkan pemerintahan Taliban.  Tidak berhenti sampai di sana Amerika Serikat mencanangkan Perang Salib melawan terorisme yang disebutnya sebagai setan-setan. Negeri Paman Sam itu, kemudian memberikan dua pilihan kepada dunia: ikut AS melawan terorisme atau (kalau tidak) menjadi pendukung terorisme.
Menyusul setelah ledakan WTC ini  Presiden AS berpidato: “America and our friends and allies join with  all those  who  want peace  and security in this word, and  we stand together to win the war  againts terrorism”(Amerika dan sahabat berikut aliansi kami akan bergabung dengan semua pihak yang menginginkan perdamaian dan keamanan di dunia ini dan kita akan bersama-sama berdiri melawan dan memenangkan peperangan terhadap terorisme). Urusan mengganyang terorisme ini kemudian menjadi urusan bersama dunia. Tak pelak lagi, hampir seluruh pemimpin seluruh dunia tunduk kepada tuntutan Amerika Serikat, termasuk penguasa di negeri-negeri Islam.   Perang melawan terorisme ini telah menjadi kebijakan politik luar negeri AS  yang dominan sekarang ini.
‘Perang' melawan terorisme ala Amerika ini menjadi  lebih dramatis dan seru, karena AS dan sekutu-sekutu Baratnya mengampanyekan perang ini sebagai perang peradaban. Perang terhadap segala pihak yang ingin menghancurkan peradaban Barat (Kapitalisme) yang demokratis, menghargai kebebasan, dan nilai-nilai hak asasi manusia. Dalam pidatonya di Sidang Umum PBB, 10 Nopember tahun lalu, Bush berkata,'This is a current  in history and it runs toward freedom”. Nyanyian yang sama dilagukan oleh Perdana Menteri Inggris, Blair pada 14 September 2002, yang berkata, "Our belief are very opposite of the fanatics. We believe reason, democracy and tolerance. These beliefs are the foundation of our civilised world”  (Keyakinan kita sangat bertentangan dengan orang-orang fanatik. Kita memercayai akal sehat, demokrasi, dan toleransi. Kepercayaan ini adalah fondasi dari peradaban dunia kita). Pada 20 September, Blair juga berkata, “This is a struggle that consern us all, the whole of democratic and civilized and free world” (Ini merupakan perjuangan yang merupakan perhatian kita semua, demokrasi, peradaban, dan dunia bebas).  
Ironisnya, ketika presiden AS George W. Bush mengatakan dengan nada mengancam kepada seluruh pemimpin dunia, “Either you are with us or you are with the terrorist”(Apakah anda berada di belakang kami, atau anda bersama para teroris), maka itu berarti politik luar negeri AS telah membagi dunia ke  dalam dua blok, yaitu blok Amerika dan blok teroris. Saat itu, tidak mengherankan kalau sikap para penguasa Muslim di dunia Islam berbondong-bondong membela dan berada di belakang komando/perintah Amerika Serikat.
Sungguh, negeri-negeri Islam pada saat ini mengalami kemunduran yang luar biasa dalam peran politik luar negerinya. Penyebab utamanya adalah mereka tidak lagi menjadikan akidah Islam dan syariat Islam sebagai dasar dan asas yang mengatur politik luar negerinya. Dengan demikian, hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan politik luar negeri tidak lagi tampak pada saat ini. Para penguasa muslim telah berlaku sebagai penjaga-penjaga setia peradaban Barat. Keagungan Islam tidak lagi tampak dalam diri mereka, mereka telah menghamba kepada ideologi-ideologi dan peraturan-peraturan buatan manusia yang dipaksakan musuh-musuh Islam atas negeri-negeri Islam.
Para penguasa muslim tidak dapat memainkan peran politik internasionalnya di tengah-tengah negara-negera lain. Bahkan, mereka tidak dapat membela dirinya sendiri dari propaganda-propaganda menyesatkan negara-negara besar. Tindakan mereka laksana kacung-kacung yang menaati perintah dan permintaan apa pun dari tuan-tuannya, negera-negara besar. Hanya ketidakberdayaan dan kehinaan yang dipertontonkan mereka di tengah-tengah peradaban manusia saat ini. Mereka lebih menaati manusia daripada menaati perintah Allah Swt. Juga, mereka lebih suka menjalankan dan membela mati-matian  sistem kufur yang zalim dari pada sistem hukum yang berasal dari Allah Swt. dan Rasul-Nya yang mulia.
Padahal, setiap negara di dunia ini pastilah memiliki politik luar negeri tersendiri. Negara tersebut pastilah melakukan interaksi dengan negera-negara lain. Politik luar negeri sebuah negara tentunya sangat memengaruhi keberadaan (eksistensi ) negara tersebut dan juga mempengaruhi politik dalam negeri negara tersebut.  Terutama bagi  sebuah negara ideologis, politik luar negeri berperan penting dalam penyebarluasan ideologinya dan membuat ideologinya unggul. Sekaligus hal tersebut akan memengaruhi keberadaan negara tersebut. Karena itu, negara-negara yang ideologis akan sungguh-sungguh memperhatikan politik luar negerinya.
Dalam literatur Hubungan Internasional perspektif Barat, dikatakan politik luar negeri pastilah ditujukan mencapai kepentingan suatu negara. Karena itu, tujuan nasional sebuah negara adalah perkara yang sangat penting. Politik luar negeri pada dasarnya  merupakan semua  sikap dan aktivitas ketika sebuah negara mencoba untuk menanggulangi masalah serta memetik  keuntungan dari lingkungan internasionalnya.  Dengan demikian, politik luar negeri sesungguhnya  merupakan hasil dari interaksi  lingkungan domestik dan lingkungan ekternalnya.   Menurut Hosti, salah satu bentuk tujuan negara itu adalah  nilai dari kepentingan inti  yang melibatkan setiap eksistensi (keberadaan) pemerintah dan bangsa yang harus dilindungi dan diperluas ( Hosti, Politik Internasional Kerangka untuk Analisis, hlm. 137). Lebih jauh Hosti menjelaskan, tujuan kepentingan dan nilai inti ini dapat digambarkan  sebagai jenis kepentingan yang untuk mencapainya  kebanyakan orang bersedia melakukan pengorbanan yang sebesar-besarnya. Nilai dan kepentingan inti ini biasanya dikemukakan dalam bentuk asas-asas pokok  kebijakan luar negeri dan menjadi keyakinan yang diterima masyarakat.
Oleh karena itu, ideologi sangatlah penting sebagai dasar interaksi sebuah negara dengan negara lain. Berdasarkan peta ideologi ini, di dunia ada tiga ideologi besar yang melakukan pertarungan, yakni Kapitalisme, Sosialisme-Komunis, dan Islam. Negara-negara berbasis ideologi Sosialisme-Komunis pernah berpengaruh  dalam era perang dingin (cold war). Namun, setelah Rusia runtuh dan mengganti ideologinya menjadi Kapitalis, perannya semakin menyusut. Tinggallah saat ini dunia didominasi oleh ideologi Kapitalisme yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, seperti Inggris  dan Prancis. Adapun Islam sejak  dibubarkannya Khilafah Islam, peran politik luar negerinya tidak ada sama sekali. Negeri-negeri Islam selama ini didominasi oleh negara-negara dengan basis ideologi Kapitalis atau Sosialis. Setelah perang dingin, total negeri-negeri Islam menginduk kepada Amerika Serikat atau negara-negara Eropa.
Dalam kondisi seperti ini cara satu-satunya bagi umat Islam untuk kembali memainkan perannya secara ideologis sekarang ini adalah kembali menegakkan Khilafah Islam. Negara Khilafah Islam ini adalah negara yang didasarkan pada Islam, menerapkan hukum-hukum Islam, dan mengemban Islam ke seluruh penjuru dunia. Negara Khilafah Islam akan menjalankan politik luar negerinya berdasarkan Islam. Karena itu, mengkaji kembali bagaimana politik luar negeri Islam di bawah Negara Khilafah Islam adalah sangat penting, untuk memberikan gambaran kepada siapa saja tentang ketinggian Islam. Di samping itu, hal ini juga penting untuk memberikan solusi kongkret bagi berbagai krisis di dunia Islam saat ini, seperti krisis Palestina, Afghanistan, Khasmir, tuduhan terorisme dan imperialisme AS.

Akidah Islam Sebagai Asas Negara Khilafah Islam
Akidah Islam telah menjadi asas bagi seluruh bentuk hubungan yang dijalankan oleh kaum muslim, menjadi pandangan hidup yang khas, menjadi asas dalam menyingkirkan kezaliman dan menyelesaikan perselisihan, menjadi asas dalam kegiatan ekonomi dan perdagangan, menjadi asas bagi aktivitas dan kurikulum pendidikan, menjadi asas dalam membangun kekuatan militer, serta menjadi asas dalam politik dalam dan luar negeri.
Tidak hanya itu, Islam mewajibkan jihad fi sabilillah  untuk menyebarluaskan Islam kepada seluruh umat manusia. Sabda Rasulullah saw.:
»أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَاِلَهَ إِلاَّاللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ وَيُقِيْمُوْا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوْا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ«
"Aku telah diperintahkan  untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan Laa ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah. Apabila mereka mengakuinya, maka darah dan harta mereka terpilihara dariku, kecuali dengan yang hak, jika melanggar syara’”.

Islam juga telah memosisikan keberlangsungan akidah Islam sebagai asas negara. Dengan demikian, Islam memerintahkan kaum muslim yang tengah hidup di dalam negera Khilafah Islam untuk mengangkat pedang (mengubah secara fisik) apabila muncul kekufuran secara terang-terangan dan terdapat upaya untuk mengubah asas negara dan kekuasaan dengan selain akidah Islam. Sabda Rasulullah saw.: “(Dan) hendaklah kita tidak merampas kekuasaan dari yang berhak, kecuali (sabda Rasulullah saw.) apabila kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki bukti (tentang kekufuran itu) dari sisi Allah" (HR Bukhari dan Muslim).
Hal di atas menunjukkan bahwa Khilafah Islam adalah negara yang dibangun dan berdiri diatas landasan mabda (ideologi). Dijadikannya akidah Islam sebagai asas negara  dan kekuasaan tidak sekadar formalitas atau simbol saja.Akan tetapi, harus tampak dalam seluruh bentuk interaksi masyrakat dan negaranya. Oleh kerena itu, negara Khilafah tidak membiarkan (menolerir) seluruh bentuk pemikiran ataupun hukum/perundang-undangan apa pun, kecuali terpancar dari akidah Islam.

Prinsip Politik Luar Negeri Islam: Menyebarluaskan Islam ke Seluruh Penjuru Dunia 
Akidah Islam ini menjadi dasar bagi mabda (ideologi) yang mengharuskan negara Khilafah Islam untuk menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia. Penyebarluasan dakwah Islam oleh negara Khilafah merupakan asas negara Khilafah dalam membangun hubungannya dengan negara-negara lain. Dengan kata lain, penyebarluasan dakwah Islam merupakan prinsip  politik luar negeri negara Khilafah Islam dalam membangun hubungannya dengan negara-negara lain, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun budaya, dan sebagainya. Pada semua bidang itu, dakwah Islam harus dijadikan asas bagi setiap tindakan  dan kebijakan.
Perkara inilah yang telah dilakukan oleh Rasulullah sejak diutus menjadi Rasul sampai berhasil membangun Negara Islam di Madinah, yakni menyampaikan dan menyebarluaskan risalah Islam kepada seluruh umat manusia. Rasulullah saw. telah menjadikan hubungan Beliau dengan seluruh Darul Kufur, seperti dengan Quraisy atau dengan kabilah-kabilah lainnya, berdasarkan pada prinsip mengemban dakwah, baik dalam hubungan peperangan, perdamaian, genjatan senjata, pertetanggaan, perdagangan, dan sebagainya. 
Perkara ini pula yang diikuti oleh para khalifah sebagai kepala negara dari Negara Islam selama berabad-abad  hingga risalah Islam dan penaklukan Islam (futuhat) mencapai negeri-negeri yang sangat jauh dan luas. Mulai dari Makkah, Madinah, Jazirah Arab, sampai ke Persia, Syam, Mesir, Afrika Utara, dan kawasan Asia Tengah. Tidak berhenti sampai di sana, dakwah Islam masuk ke jantung Eropa, menaklukkan sebagian wilayah Prancis, sampai menyentuh gerbang kota Wina (Austria). Ke arah timur dakwah Islam sampai ke Asia Pasifik (Indonesia). 
Adapun yang menjadi dalil bahwa dakwah Islam (penyebarluasan Islam) sebagai prinsip hubungan luar negeri adalah kenyataan bahwa Rasulullah saw. diutus untuk seluruh umat manusia. Allah Swt. berfirman:
﴿وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا﴾
”Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), selain kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita dan pemberi peringatan” (QS Saba'[34]:28).
﴿قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا﴾
Katakanlah, “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua" (QS al-A'raaf [7]: 158).

Semua ini menunjukkan prinsip politik luar negeri Islam adalah mengemban dakwah Islam sehingga Islam tersebar luas ke seluruh dunia.

Konstelasi Internasional dalam Islam
Islam telah membagi dunia ini atas dua kategori, yaitu Darul Islam dan Darul Kufur atau Darul Harb. Darul Islam adalah wilayah atau negeri yang di dalamnya diterapkan  sistem hukum Islam dan keamanannya diberlakukan keamanan Islam. Sebaliknya, Darul Kufur adalah wilayah atau negeri yang di dalamnya diterapkan sistem hukum kufur dan keamanannya bukan menggunakan  sistem keamanan Islam, meskipun mayoritas penduduknya adalah muslim (Lihat kitab Mitsaqul Ummah).
Dasar pembagian ini adalah Hadis Rasulullah saw. Dalam hadis riwayat Sulaiman bin Buraidah disebutkan sabda Rasulullah saw.:
«أُدْعُهُمْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَأَقْبِلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ أُدْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ اِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِيْنَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوْا ذَلِكَ فَلَهُمْ ماَ لِلْمُهَاجِرِيْنَ وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِرِيْنَ»
"Serulah mereka kepada Islam, apabila mereka menyambutnya, terimalah mereka dan hentikanlah peperangan atas mereka; kemudian ajaklah mereka berpindah dari negeri mereka (yang merupakan Darul Kufr) ke Darul Muhajirin (Darul Islam yang berpusat di Madinah); dan beritahulah  pada mereka, bahwa apabila mereka telah melakukan semua itu, maka mereka akan mendapatkan hak yang sama sebagaimana yang di dapatkan oleh kaum Muhajirin, dan juga kewajiban yang sama, seperti halnya kewajiban Muhajirin".

Hadis ini adalah sebuah nas yang mensyaratkan keharusan berpindah ke Darul Muhajirin, agar mereka memperoleh hak dan kewajiban yang sama dengan hak dan kewajiban warga Darul Muhajirin. Darul Muhajirin adalah Darul Islam, sedangkan selainnya adalah Darul Harb. Karena itulah, orang-orang yang telah masuk Islam diminta berhijrah ke Darul Islam, agar diterapkan atas mereka hukum-hukum Darul Islam; dan apabila mereka tidak  berpindah maka hukum-hukum  Darul Islam tidak bisa diterapkan atas mereka, dengan kata lain yang diterapkan adalah hukum-hukum Darul Kufur.
Di samping itu, istilah Darul Kufur dan Darul Islam, kedua-duanya adalah istilah syara'. Sebab, kata 'Daar' tersebut disandarkan pada Islam dan Harb atau Kufur berarti bukan muslim dan kuffar. Penyandaran Daar kepada Islam berarti al-Hukm (pemerintah) dan al-Amaan (keamanan) pada sebuah negara. Dengan demikian, Darul Islam mengandung arti bahwa yang memerintah dalam sebuah negara adalah Islam. Jadi, jika agama yang memerintah  dalam sebuah negara, berarti kekuasaan dan keamanan adalah dalam naungan agama. Semua ini menunjukkan bukti bahwa dunia secara keseluruhan hanya terdiri atas Darul Islam dan Darul Kufur.
Atas dasar itulah, politik luar negeri hanya bisa diartikan sebagai hubungan Negara Islam dengan Negara-negara yang dianggap Darul Kufur--baik mayoritas penduduknya adalah muslim maupun nonmuslim. Sementara itu, untuk negara-negara yang menerapkan hukum Islam dan keamanannya berada di bawah tangan Islam, maka tidak diberlakukan politik luar negeri, tetapi dianggap sebagai politik dalam negeri--sekalipun wilayahnya terpisah dari negara dan memiliki otonomi tersendiri.

Metode (Thariqah) Politik Luar Islam: Dakwah dan Jihad
Negara Khilafah Islam menerapkan politik luar negeri berdasarkan metode (thariqah) tertentu yang tidak berubah, yakni  dakwah dan jihad. Metode ini tidak berubah meskipun para penguasa Negara Islam berganti. Metode ini tidak berubah sejak Rasulullah saw. mendirikan Negara di Madinah, sampai keruntuhan Khilafah Islam. Saat Rasulullah di Madinah, beliau menyiapkan tentara dan memprakarsai jihad untuk menghilangkan berbagai bentuk halangan fisik yang mengganggu dakwah Islam. Kaum kafir Quraisy, adalah salah satu hambatan fisik yang menghalangi penyebarluasan Islam, sehingga harus diperangi. Rasulullah berhasil menyingkarkan hambatan fisik dari institusi pemerintahan  kaum kafir Quraish dan kabilah-kabilah lain di Jazirah Arab, hingga Islam menyebar luas ke seluruh penjuru dunia.
Dengan menyingkirkan penguasa-penguasa zalim dan institusi pemerintahan yang menghalangi dakwah Islam, dakwah Islam dapat sampai pada masyarakat secara terbuka. Mereka juga melihat dan merasakan keadilan Islam secara langsung, merasa tenteram dan nyaman hidup di bawah kekuasaan Islam. Rakyat diajak memeluk Islam dengan cara sebaik-baiknya, tanpa paksaan dan tekanan.  Dengan penerapan hukum Islam inilah, berjuta-juta manusia di dunia, tertarik dan memeluk agama Islam.  
Salah satu tuduhan keji yang  dilontarkan oleh Barat kepada Islam, adalah bahwa Islam disebarluaskan dengan darah dan peperangan. Mereka gambarkan pejuang-pejuang Islam dengan senjata di tangan kanan dan al-Quran di tangan kiri. Tuduhan keji ini juga mereka lontarkan terhadap Negara Khilafah Islam. Dalam hal ini tuduhan ini jelas palsu dan menipu. Memang  metode penyebaran Islam adalah dengan cara jihad (perang). Namun, perang bukanlah langkah pertama yang dilakukan Negara Khilafah Islam. Negara Khilafah tidak pernah memulai peperangan menghadapi musuh-musuhnya, kecuali telah disampaikan kepada mereka tiga pilihan. Pilihan pertama, memeluk Islam. Kedua, membayar jizyah, artinya mereka tunduk kepada Negara Khilafah Islam berikut aturan-aturannya. Jika dua pilihan ini ditolak, langkah terakhir adalah dengan memerangi mereka.
Pilihan pertama yang disampaikan  negara Khilafah kepada negara-negara Kafir adalah seruan untuk memeluk Islam. Jika mereka menerima dan memeluk Islam, maka mereka memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat. Hak dan kewajiban mereka sama dengan hak dan kewajiban kaum muslim lainnya, yakni sebagai warga negara Khilafah Islam. Darah (jiwa) dan kehormatan mereka terjaga. Apabila mereka menolak pilihan pertama, maka disampaikan kepada mereka pilihan kedua, yakni membayar jizyah yang berfungsi sebagai pengunci peperangan  dan penjaga jiwa mereka. Mereka tunduk kepada aturan-aturan Islam. Namun, mereka tidak boleh dipaksa untuk masuk Islam, berhak menjalankan ibadah agama mereka masing-masing. Kedudukan mereka sebagai warga negara negara Khilafah Islam sama. Artinya, Negara Khilafah Islam harus menjamin kebutuhan mereka dan keamanan mereka. Sebaliknya, kalau mereka menolak pilihan kedua ini, berarti mereka memilih berperang dengan negara Khilafah. Sabda Rasulullah saw. melalui Buraidah r.a. yang berkata:
'Rasulullah saw., apabila memerintahkan komandan perangnya (berperang), beliau menasihatinya—terutama supaya bertakwa kepada Allah--semoga kaum muslim yang turut bersamanya  dalam keadaan baik. Kemudian, beliau bersabda:’…Jika engkau berjumpa dengan kaum musyrik berikanlah kepada mereka  tiga pilihan atau kesempatan--bila mereka menyambut, terimalah--dan cukuplah atas apa yang mereka lakukan, (yaitu) serulah mereka kepada Islam, jika mereka menyambutnya maka terimalah dan cukuplah dari yang mereka utarakan. Lalu, serulah mereka supaya berpindah ke negeri Muhajirin. Apabila mereka menolak pindah, beritahukan bahwa  mereka--kedudukannya--seperti orang-orang Arab Muslim yang berlaku juga hukum Allah sebagaimana  terhadap orang-orang mukmin. Mereka tidak memperoleh ghanimah dan fa’I kecuali turut serta berjihad dengan kaum muslim. Namun, jika mereka menolak (pilihan pertama) ini maka pungutlah jizyah. Dan bila mereka menyambutnya, terimalah dan cukuplah dari yang mereka utarakan. Akan tetapi, jika mereka menolak  juga (pilihan kedua), maka mintalah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka” (HR Muslim).

Bahwa sebelum perang, harus dilakukan dakwah terlebih dahulu, bisa dilihat dari berbagai hadis Rasulullah saw, antara lain:
Berkata Ibnu Abbas:
مَا قَاتَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْمًا قَطٌ إِلاَ دَعَاهُمْ
"Rasulullah saw. tidak pernah sekalipun memerangi suatu kaum, kecuali setelah Beliau menyampaikan dakwah kepada mereka”.

Dalam sebuah riwayat lainnya, Rasulullah bersabda kepada Farwah Ibnu Musaik:
«لاَ تَقَاتِلُهُمْ حَتَّى تَدْعُوْهُمْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ»
"Janganlah engkau perangi mereka sebelum engkau mengajak mereka masuk Islam".

Hadis Rasulullah ini menggambarkan bahwa peperangan merupakan alternatif terakhir. Rasulullah senantiasa mengirim utusan terlebih dahulu, mengajak mereka masuk Islam, berdialog untuk membuktikan kebatilan ajaran mereka. Bahkan, Rasulullah telah memilih jalan damai, meskipun disitu terdapat peluang besar untuk melanjutkan peperangan. Pada saat kaum muslim berhasil membuka kota Makkah  dan orang-orang kafir berputus asa, Rasulullah saw. tidak melampiaskan dendam kepada mereka atau membinasakan dengan memerangi mereka. Rasulullah bersabda,”Pergilah kalian (ke mana saja kalian suka) karena kalian telah bebas”. Berdasarkan hal di atas perdamaian merupakan pilihan pertama  dari hubungan internasional antara kaum muslim (Negara Khilafah Islam) dengan negeri-negeri yang lainnya.
Jihad  fi sabilillah dalam Islam bukanlah untuk menaklukkan manusia, menguras dan mengeksploitasi  harta kekayaan negeri lain, apalagi memusnahkan sekelompok umat manusia dari  muka bumi. Seruan dan pelaksanaan jihad fi sabilillah dalam Islam  adalah dalam rangka mengagungkan kalimat Allah serta  menyebarluaskan Islam. Jihad  ditujukan untuk menyingkirkan kesesatan, kekufuran, dan kezaliman di tengah-tengah manusia. Jihad juga ditujukan untuk menyingkarakan berbagai penghalang fisik dan ideologi yang menghalangi manusia untuk mendapat kebenaran. Tentu saja jihad tidak sama dengan imprialisme yang dilakukan oleh Barat yang telah menyebabkan banyak penderitaan umat manusia. 

Bentuk-bentuk Aktivitas Politik Luar Negeri dalam Islam
Dalam kitab Mitsaqul Ummah dijelaskan pelaksanaan politik luar negeri yang dibagi dalam dua bentuk:
Pertama, melaksanakan aktivitas  secara proaktif untuk menyampaikan dakwah, antara lain  perang dingin, menjalankan strategi dakwah, propaganda, dan tabligh.
Kedua, aktivitas politik dan diplomasi.
Kepergian Rasulullah saw. melaksanakan umrah pada peristiwa Hudaibiyah pada hakikatnya adalah bentuk perang dingin. Demikian pula propaganda dilakukan oleh Rasulullah berhubungan dengan ayat: “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram, katakanlah berperang dalam bulan itu adalah dosa besar” (TQS al-Baqarah [2]: 217). Rasulullah juga mengirim sahabat-sahabatnya untuk mengajarkan Islam ke Nejd, ini merupakan contoh dari strategi dakwah. Adapun surat-surat ataupun utusan-utusan yang dikirim Rasulullah kepada negara-negara, seperti Romawi, Persia, dan Habsyah merupakan bentuk diplomasi. Rasulullah juga melakukan berbagai perjanjian dengan wilayah sekitar, seperti dengan penduduk Ailah di perbatasan Syam, dan ini merupakan bentuk aktivitas politik.
Dalam kitab Muqaddimah Dustur, dijelaskan secara lebih terperinci beberapa aktivitas penting  yang dilakukan oleh Negara Khilafah antara lain:
  1. mengadakan gerakan/monuver politik yang kekuatannya terletak pada penampakan kegiatan dan perahasiaan tujuan. Perkara ini adalah perkara mubah yang diserahkan kepada pendapat atau ijtihad khalifah.
Hal ini dicontohkan oleh Rasulullah pada akhir tahun pertama Hijrah dan awal tahun ke dua Hijrah, dengan mempersiapkan pasukan militer dan berbagai ekspedisi militer. Sepertinya, dengan pasukan ini Rasulullah ingin memerangi kafir Quraisy, tapi maksud sesungguhnya adalah untuk menakut-nakuti kafir Quraisy dan kabilah-kabilah lain,  yang bermaksud memusuhi Negara Islam.  Tindakan ini juga bertujuan membuat gentar kaum munafik dan Yahudi yang ada di sekitar Madinah. Hal ini bisa dilihat dari jumlah pasukan yang dikirim sedikit, 60, 200, dan 300 orang. Tentu saja, jumlah yang sedikitnya tak cukup, kalau dimaksudkan untuk memerangi kafir Quraisy. Hasil yang diperoleh dari manuver politik ini adalah  menyusupkan rasa takut pada musuh-musuh Islam, menghancurkan mental kafir Quraisy, serta untuk menimbulkan rasa takut di hati mereka. Dengan tindakan ini, Rasulullah berhasil 'memaksa' beberapa kabilah untuk melakukan perjanjian damai dengan beliau, seperti Bani Dhamrah, Bani Mudlij. Tentu saja, perjanjian damai dengan beberapa kabilah ini mencegah dan memecah koalisi kabilah-kabilah yang ingin menyerang Negara Islam.
Sama halnya saat Rasulullah melakukan manuver politik, dengan mengumumkan  keinginannya untuk melaksanakan ibadah haji pada  tahun ke 6 Hijrah, meskipun saat itu sedang terjadi perseteruan antara Negara Islam Madinah dengan kafir Quraisy yang menguasai Makkah. Maksud Rasulullah sebenarnya adalah untuk ‘mendorong' kafir Quraisy melakukkan perdamaian dengan beliau sehingga Khaibar bisa diperangi. Hal ini disebabkan Rasulullah saw. mendengar bahwa kafir Quraisy dan Khaibar sedang membangun koalisi untuk memerangi Madinah. Untuk memecah belah koalisi ini, Rasulullah berupaya untuk mengajukan perdamaian (gencatan senjata) ke Quraisy. Dengan demikian, Rasulullah akan lebih leluasa memerang Khaibar. Bahwa, tindakan Rasulullah mengumumkan keinginan untuk berhaji ke Makkah ini merupakan manuver politik, bisa dilihat dari tidak jadinya Rasulullah berhaji setelah mencapai perdamaian dengan kafir Quraisy.
Rosulullah juga sengaja memilih bulan-bulan yang diharamkan (yang juga diakui oleh kafir Quraisy) untuk berperang, untuk memperlancar manuver politiknya. Rasulullah juga mengajak kabilah nonmuslim ikut bersamanya. Hal ini untuk membentuk opini umum, seandainya kafir Quraisy menghalangi atau menyerang  rombongan  yang tidak bersenjata ini. Tentu saja hal ini, menyulitkan kafir Quraisy untuk menyerang rombongan Rasulullah saw.
  1. Mengungkapkan secara berani pelanggaran berbagai negara, menjelaskan bahaya politiknya yang penuh kepalsuan, serta membongkar persekongkolan jahat dan menjatuhkan martabat dari pemimpin yang sesat. Hal ini merupakan cara (uslub) yang paling penting dalam menjalankan politik.
Perkara ini merupakan cara (uslub) yang bisa ditempuh oleh kepala negara atau khalifah. Tindakan ini dicontohkan oleh Rasulullah ketika terjadi perang propaganda menyangkut masalah   tindakan ekspedisi Abdullah al-Jahsy yang ditugaskan Rasulullah untuk mengintai aktivitas kafir Quraisy. Namun, Abdullah al-Jahsy memerangi mereka, membunuh sebagiannya, menahan laki-laki, dan mengambil harta mereka. Padahal, peristiwa ini terjadi di bulan-bulan yang diharamkan. Peristiwa ini dimanfaat oleh kafir Quraisy untuk membuat propaganda yang menyudutkan dan menyerang, dan memberikan citra jelek Negara Islam Madinah. Saat itu, turun ayat Quran yang menyerang balik propanda orang kafir Quraisy dengan mengungkap kejahatan mereka. Firman Allah Swt.:
﴿يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِنْدَ اللَّهِ وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ﴾
Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, “Berperang pada bulan itu adalah dosa besar, tapi menghalangi manusia dari jalan Allah, kafir kepada Allah, menghalangi masuk masjidil Haram, dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan membuat fitnah lebih besar dosanya dari pada membunuh…” (QS al-Baqarah [2]:217).
Ayat ini merupakan pukulan telak dari propaganda yang dilakukan oleh kafir Quraisy. Al-Quran juga menyerang pemimpin-pemimpin kafir Quraisy, seperti Abu Lahab dengan mengungkapkan kejahatan dan sifat-sifatnya yang keji.
  1. Menampilkan keagungan pemikiran Islam dalam mengatur urusan individu, bangsa, dan negara di dunia, yang merupakan metode (thariqah) politik yang paling penting.
Perkara ini adalah perkara yang wajib bagi Negara Khilafah Islam untuk melaksanakannya. Wajib bagi Negara untuk menyampaikan dakwah Islam dengan cara yang menarik perhatian, disebabkan firman Allah Swt.:
﴿وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلاَّ الْبَلاَغُ الْمُبِينُ﴾
"Tidaklah kewajiban Rasul, kecuali menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” (QS an-Nuur [24]:25).
Kata ‘mubin' (jelas, terang) menjadi pedoman dalam tabligh (menyampaikan) dakwah Islam. Untuk itu, dakwah harus disampaikan dengan cara yang menarik perhatian, yakni dengan mengungkapkan keagungan pemikiran-pemikiran Islam, seperti menunjukkan bagaimana cara bermuamalah Negara Islam terhadap nonmuslim ahlul dzimmah, orang yang dilindungi dan yang terikat perjanjian dengan Negara Islam; fungsi penguasa adalah mengurus rakyat dan menjalankan hukum syara’, bukan menguasai rakyat; rakyat dibolehkan melakukan koreksi kepada penguasa, meskipun mereka tetap harus taat (meskipun penguasanya zalim), namun ketaatannya ini bukan dalam perkara maksiat; juga diungkapkan bagaimana perselisihan penguasa dengan rakyat diselesaikan lewat mahkamah madzalim.

Beberapa Aturan dalam Hubungan Internasional antara Negara Khilafah Islam dan Negara-negara Lain  
Secara umum hubungan negara Khilafah dengan negara-negara lain yang ada di dunia ini terbagi menjadi empat macam:
  1. dengan negara-negara di dunia Islam yang merupakan negeri-negeri Islam yang belum bergabung dengan Negara Khilafah Islam; Terhadap negeri-negeri itu Khilafah menganggapnya berada dalam satu wilayah negara. Dengan demikian, tidak termasuk dalam politik luar negeri. Negara Khilafah wajib menggabungkan negeri-negeri tersebut ke dalam satu wilayah yaitu Negara Khilafah Islam.
  2. dengan negara-negara kafir yang memiliki perjanjian yang disebut negara kafir Mu’ahid; Perjanjian ini bisa dalam bentuk perjanjian perdagangan/ekonomi, bertetangga baik, sains dan teknologi, atau hubungan diplomatik (pembukaan kedutaan besar/konsulat). Terhadap negara kafir Mu’ahid ini, Khilafah memperlakukannya sesuai dengan butir-butir perjanjian yang telah disepakati.
  3. dengan negara-negara kafir yang tidak terikat perjanjian apa pun; Negara kafir seperti ini dinamakan kafir harbi hukman. Terhadap mereka, negara Khilafah bersikap waspada dan tidak dibolehkan membina hubungan diplomatik. Penduduknya dibolehkan  memasuki negeri-negeri Islam, tapi harus membawa paspor dan visa khusus untuk setiap perjalanan. Contoh negara ini adalah Korea Utara, Korea Selatan, Kuba, dan lain-lain.
  4. dengan negara-negara kafir yang melakukan konfrontasi dan peperangan dengan negara Khilafah  atau negeri-negeri Islam; Negara-negara seperti ini dinamakan kafir harbi fi’lan. Terhadap mereka, negara Khilafah memperlakukannya sebagai kondisi dalam perang. Seluruh penduduknya tidak dibolehkan memasuki Negara Khilafah Islam, karena mereka dianggap musuh. Contoh negara seperti ini adalah Amerika Serikat, Israel, dan Inggris.
Adapun perincian hubungan luar negeri Negara Khilafah dalam berbagai bidang antara lain:

Bidang Ekonomi
Berdasarkan syariat Islam, hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan perdagangan luar negeri terkait dengan  pelaku perdagangan luar negeri tersebut,yaitu pedagangnya. Karena itu, yang dijadikan fokus pembahasan adalah para pedagangnya, bukan barang dagangannya atau harta bendanya. Hal ini karena hukum syara’ berhubungan dengan aktivitas hamba-Nya.  Barang dagangan terkait dengan dengan pemiliknya sehingga hukumnya mengikuti hukum hukum para pemiliknya (pedagang). Adapun beberapa pengaturannya  adalah sebagai berikut:
  1. dengan Negara-negara kafir Mu'ahid (yang terikat perjanjian dengan Negara Khilafah), diberlakukan hubungan perdagangan dengan mereka sesuai dengan butir-butir yang terdapat dalam teks perjanjian; Termasuk detail barang-barang yang bisa diekspor atau impor. Di luar barang-barang tersebut tidak dibolehkan. Demikian pula dengan barang-barang militer atau barang yang bisa menambah kekuatan negara lain, tidak dibolehkan, seperti menjual uranium, pipa baja khusus, radar, satelit militer, teknologi angkasa luar, dan sebagainya.
  2. dengan Negara kafir harbi berlaku hukum sebagai berikut; Pertama, jika antara kita dengan mereka tengah berkecamuk perang, maka kita memperlakukan mereka (termasuk pedagangnya) sebagai musuh yang dapat ditawan atau dibunuh, tidak dapat diberikan pas keamanan (visa khusus), dan harta benda mereka halal untuk dirampas. Kedua, jika dalam tidak keadaan perang dan tidak ada perjanjian, maka mereka tidak dibolehkan memasuki wilayah Negara Khilafah, kecuali dengan izin khusus (visa khusus). Perlakuan terhadap pedagangnya sama dengan seperti mereka memperlakukan para pedagang kita. Terhadap barang dagangannya, setiap jenisnya harus ada surat izin khusus. Khilafah juga tidak membolehkan menjual kepada mereka barang-barang militer atau sesuatu yang bisa memperkuat mereka.
Pada dasarnya, prinsip perdagangan luar negeri adalah kemudahan. Jika para pedagang itu adalah warga negara Khilafah Islam, baik muslim maupun kafir dzimmi, maka tidak sama sekali dikenakan pungutan (cukai perbatasan) apa pun terhadap mereka. Sabda Rasulullah:
"Tidak masuk surga para pemungut cukai (perbatasan)".

Adapun terhadap para pedagang yang menjadi warga negara kafir harbi hukman atau kafir harbi mu'ahid, perlakuan terhadap mereka akan sama seperti Negara mereka memperlakukan para pedagang kita. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abi Majlaz yang bertemu dengan Ibnu Humaid, yang berkata:
“Orang-orang bertanya kepada Umar: ‘Apakah kita memungut sesuatu terhadap (pedagang) kafir harbi jika mereka datang ke negeri kita?’ Dijawab, ‘Apakah mereka memungut sesuatu terhadap kita jika datang ke negeri mereka?’ Mereka menjawab,’Ya, 'usyur (cukai sepersepuluh).’  Lalu, dijawab lagi (oleh Umar), 'Jika begitu, demikian pula halnya kita memungut (cukai) dari mereka" (Abu Ubaid, al-Amwal hlm. 712).

Hubungan Kebudayaan (Tsaqafah)
Terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara ilmu pengetahuan (sains dan teknologi) dengan tsaqafah. Ilmu pengetahuan--termasuk sains dan teknologi—bersifat universal, tidak dimiliki dan dimonopoli oleh suatu bangsa tertentu. Siapa pun berhak mendapatkan dan mempelajarinya. Contohnya, adalah ilmu kimia, fisika, astronomi, anatomi, teknologi, dan sejenisnya. Adapun tsaqafah selalu terkait dengan pandangan hidup tertentu, seperti ilmu hukum, sistem ekonomi, ilmu pendidikan, ilmu pemerintahan, dan sejenisnya.
Negara-negara yang memiliki basis pada ideologi, seperti negara-negara Sosialis-Komunis, senantiasa mengusung tsaqafahnya ke seluruh dunia, karena di dalamnya telah terbalut cara pandang hidup tertentu. Oleh karena itu, negara khilafah-–sebagai negara yang bersifat ideologis—harus memelihara tsaqafah generasi-generasinya agar kaum muslim memiliki Kepribadian Islam (syakhsiyah Islamiyah) yang khas dan mulia. Dengan begitu, negara Khilafah mewajibkan seluruh sistem, program, dan kurikulum pendidikan yang berlaku di seluruh tempat pendidikan yang ada di bawah naungan Negara Khilafah Islam, merujuk pada sistem, serta program dan kurikulum negara khilafah. Selain itu, negara harus menjamin bahwa sistem pendidikan yang berlangsung di negerinya bersih dari pengaruh ideologi ataupun pemahaman-pemahaman yang bertentangan dengan akidah Islam, dan bebas dari budaya asing.
Berdasarkan hal ini, maka negara Khilafah tidak pernah mengizinkan pembukaan sekolah-sekolah asing yang bersifat otonom di negara Khilafah. Begitu pula misi-misi kebudayaan, ataupun bantuan (supervisi) dari luar negeri yang menyangkut tsaqafah asing, tidak diberi peluang untuk dapat memasuki wilayah negara Khilafah. Akan tetapi, kerja sama ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi dengan negara-negara kafir Mu'ahid diperbolehkan sesuai dengan bentuk kerja samanya dengan negara-negara tersebut. Kecuali dengan negara kafir harbi fi'lan ataupun yang tidak memiliki kerjasama/perjanjian.

Hubungan Politik (diplomatik)
Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa tugas mendasar dari negara Khilafah adalah menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia. Karena itu, keberadaan para duta besar negara Khilafah di negara-negara kafir Mu'ahid tidak lepas dari tugas mendasar ini. Jadi, aktivitas para duta besar negara Khilafah di negara-negara lain adalah dakwah dan melakukan propaganda terhadap Islam.
Bukti nyata adalah apa yang dilakukan Rasulullah saw. dengan mengirimkan banyak utusan (semacam duta besar) ke berbagai negeri. Tugas mereka satu, yaitu menyerukan Islam. Kenyataan ini juga menunjukkan kebolehan membuka kedutaan besar di negara-negara tetangga. Tentu saja kompensasinya adalah membolehkan pula negara-negara tersebut untuk membuka kedutaan besarnya di wilayah negara Khilafah. Namun, dengan syarat tidak mempropagandakan tsaqafah asing ataupun propaganda politik/ideologis. Kebolehan untuk membuka hubungan diplomatik dengan negara-negara lain, serta adanya kekebalan diplomatik yang dimiliki oleh para duta besar asing, tercantum dalam sabda Rasulullah saw.:
"Sesungguhnya aku tidak pernah mengkhianati perjanjian, dan tidak pernah menahan para utusan (duta besar)" (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i).

Juga sabda Rasulullah saw. melalui Abdullah bin Mas'ud:
"Telah datang Ibnu Nuwahah dan Ibnu Afak, dua orang utusan dari Musailamah kepada Nabi saw. Kepada kedua utusan tersebut Rasulullah berkata, 'Apakah engkau berdua bersaksi bahwasanya aku ini Rasulullah?’ Keduanya menjawab, 'Kami bersaksi bahwa Musailamah itu adalah Rasulullah.’ Kemudian, berkata Rasulullah, 'Aku beriman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Seandainya--tidak terdapat kebiasaan untuk tidak membunuh utusan--maka aku pasti akan membunuh dua orang utusan ini. Namun, telah berlangsung kebiasaan (umum) bahwa para utusan (duta besar) itu tidak boleh dibunuh" (HR Baihaqi, juga lihat Ibnu Katsir, Bidayah wa Nihayah, jld. V/51).

Tentu saja faktor lain yang menentukan dibuka atau tidaknya kedutaan besar negara Khilafah adalah kepentingannya untuk kemaslahatan kaum muslim. Jika tidak ada manfaatnya, seperti terhadap negara-negara kafir harbi yang tidak memiliki perjanjian apa pun dengan Negara Islam, maka hubungan diplomatik itu tidak ada gunanya. Adanya hubungan diplomatik dengan negara-negara lain ini berarti, terdapat perjanjian ('ahd) antara negara Khilafah dengan negara-negara kafir. Baik perjanjian itu, berupa perjanjian dalam bidang perdagangan/ekonomi, ilmu pengetahuan, sains dan teknologi, bertetangga baik, maupun yang sejenisnya. Karena itu, negara-negara tersebut dinamakan negara kafir Mu'ahid.

Hubungan Militer
Seluruh bentuk kerja sama militer, antara negara Khilafah Islam dengan negara-negara kafir, tergolong dalam bentuk kerja sama yang tidak dibolehkan secara mutlak oleh syara’. Bentuk hubungan militer yang dilarang itu antara lain:
  1. Larangan pakta pertahanan bersama atau aliansi militer strategis.
Hadits Nabi,”Janganlah kalian meminta bantuan pada api orang musyrik” (HR Ahmad dan Nasa’i).
Api di sini merupakan kinayah terhadap peperangan (al-harb), sebagaimana firman Allah Swt:
﴿ كُلَّمَا أَوْقَدُوا نَارًا لِلْحَرْبِ أَطْفَأَهَا اللَّهُ﴾
"Setiap mereka menyalakan api peperangan Allah Swt. memadamkannya” (QS al- Maa-idah [5]:64).

Begitu pula dalam hadis-hadis lain, Rasulullah saw. menolak bantuan dan keikutsertaan orang-orang kafir (yang membawa bendera mereka) dalam perang Badar ataupun Uhud, seraya mengajak mereka untuk memeluk Islam terlebih dahulu.
  1. Larangan kerja sama atau perjanjian militer dalam rangka memusnahkan atau mengurangi senjata nuklir ataupun senjata sejenis, seperti traktat PBB tentang non-proliferasi nuklir. Kerja sama ini diharamkan secara mutlak karena akan menghilangkan kesempatan bagi Negara Khilafah Islam untuk memiliki dan mengembangkan senjata-senjata nuklir. Padahal, Allah Swt. berfirman:
﴿ وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ﴾
“Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambatkan untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah, musuh kalian, dan orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya” (QS al-Anfal [6]:60).

  1. Larangan kerja sama militer dalam bentuk patroli perbatasan ataupun latihan perang bersama dengan dalih untuk latihan atau mencegah infiltrasi musuh. Sebab, hal ini berarti membatasi negeri-negeri muslim dalam batas geografis tertentu yang bersifat fixed. Demikian pula akan membawa implikasi sulitnya kaum muslim untuk menyebarluaskan dakwah Islam. Padahal, Allah Swt. telah mewajibkan kaum muslim untuk menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:
»اَلْجِهَادُ مَاضٍ اِلَى يَوْمِ اْلقِيَامَةِ«
"Jihad itu berlangsung hingga hari Kiamat” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Ibn Majah).

  1. Larangan kerja sama militer dalam bentuk penyewaan fasilitas militer ataupun sipil, seperti pangkalan udara, pelabuhan laut, gudang, dan kamp militer. Sebab, hal itu berarti memberikan jalan ataupun peluang kepada negara-negara kafir untuk menguasai negeri-negeri Islam. Allah Swt. berfirman:
﴿وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً﴾
“Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk (menguasai dan) memusnahkan orang-orang yang beriman” (QS an-Nisa [4]:141).

Hubungan dengan Organisasi Internasional
Perjanjian-perjanjian dan traktat-traktat yang dibuat oleh aparatur pelaksana negara sebelumnya dengan lembaga-lembaga internasional ataupun regional, maka perjanjian-perjanjian semacam ini harus segera dihapus.  Sebab, kaum muslim tidak boleh bergabung dengan lembaga-lembaga internasional ataupun regional, PBB, Bank Dunia, IMF, IBRD, dan lain-lain.  Sebab, lembaga-lembaga ini berdiri di atas asas yang bertentangan dengan hukum Islam.  Selain itu, lembaga-lembaga ini merupakan alat politik negara besar, khususnya AS.  AS telah memanfaatkan lembaga-lembaga ini untuk meraih kepentingan-kepentingan khusus mereka.  Lembaga-lembaga ini merupakan media untuk menciptakan dominasi kaum kafir atas kaum muslim dan negara muslim.  Oleh karena itu, secara syar’i hal ini tidak diperbolehkan   sebab “al-wasiilatu ila al-harami haramun”.
Demikian pula kaum muslim tidak boleh bergabung dalam lembaga-lembaga persekutuan-persekutuan regional, semacam Liga Arab, OKI, dan Pakta Pertahanan Multi Nasional.  Sebab, lembaga-lembaga semacam ini berdiri di atas asas yang bertentangan dengan Islam.  Selain itu, lembaga-lembaga ini telah memecah belah  negeri-negeri kaum muslim berdasarkan konsep negara bangsa (nation state) yang diharamkan oleh Islam.

Langkah Praktis  Negara Khilafah dalam Krisis Dunia Islam
Dunia Islam saat sekarang ini mengalami kemunduran yang luar biasa. Dominasi Amerika Serikat dan negara-negara Eropa begitu kuat di dunia Islam. Berbagai penderitaan saat ini dialami oleh negeri-negeri Islam hampir pada seluruh aspek kehidupan. Secara politik, dunia Islam terpecah menjadi negeri-negeri kecil yang tidak berdaya menghadapi penjajahan Barat. Ide Nasionalisme yang dicangkokkan  oleh Barat ke dunia Islam  nyata-nyata telah memecah belah dunia Islam. Tidak hanya itu, karena dorongan nasionalisme dan patriotisme ini, negeri-negeri Islam saling berperang satu dengan yang lain. Irak-Iran hampir 8 tahun bertempur mengorbankan ribuan nyawa saudaranya sendiri. Irak menyerbu Kuwait, yang kemudian mengundang invasi Amerika secara langsung di Timur Tengah.
Ide Nasionalisme ini juga telah menghalangi bersatunya kaum muslim, bahkan untuk menyelamatkan saudara-saudaranya seiman yang diancam kematian. Sangat jelas terlihat bagaimana negara-negara Arab mandul menghadapi Israel. Padahal, di depan mereka, negara zionis Israel membantai dan membunuh kaum muslim. Alasannya, kepentingan nasional (national interest). Pakistan rela membiarkan Amerika Serikat melakukan pembantaian di Afghanistan, bahkan memberikan fasilitas bagi tentara Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Alasan Pakistan juga sama, yakni untuk kepentingan nasional Pakistan.
Upaya lain yang dilakukan oleh Barat adalah merancang berbagai konflik di internal negeri Islam ataupun antar-negeri Islam. Secara internal berbagai chaos (kerusuhan) diciptakan sehingga memberi peluang bagi  intervensi asing, seperti yang terjadi di Indonesia. Kerusuhan di Aceh, Ambon, dan Poso disinyalir tidak bisa dilepaskan dari campur tangan asing. Secara internal Barat membuat konflik dengan isu  sengketa wilayah negara. Apa yang terjadi antara Irak-Kuwait, Iran-Irak, Indonesia-Malaysia, Kosovo,Khasmir, Siprus, Eriteria-Etopia, banyak disebabkan oleh persengketaan perbatasan. Sengketa wilayah ini telah digunakan oleh Barat untuk melakukan proses destabilisasi, sehingga negeri-negeri Islam melemah. Mereka kemudian melakukan intervensi dengan membuat rezim pemerintahan boneka. Apa yang terjadi di Afghanistan adalah contoh yang sangat jelas.  
Tidak hanya itu, lewat sistem negara sekuler yang dibuat oleh Barat, penjajah berhasil menanamkan dan memelihara kepentingan serakah mereka. AS dan Eropa, membentuk pemerintahan boneka, yang tunduk kepada mereka. Jadilah, hampir seluruh negeri Islam dipimpin oleh penguasa-penguasa yang menjadi budak Amerika Serikat. Penguasa-penguasa itu melakukan apa saja yang diperintahkan oleh AS dan Eropa, meskipun itu memiskinkan, bahkan membunuh rakyat mereka sendiri. Lihat saja bagaimana lemahnya penguasa-penguasa Arab menghadapi AS. Sampai-sampai mereka  mendukung dan berdamai dengan Israel. Padahal, negara zionis itu telah membantai kaum muslim.
Tidak hanya di bidang politik, secara ekonomi sebagian negeri-negeri Islam mengalami kemiskinan yang luar biasa. Walaupun negeri-negeri Islam adalah negeri yang kaya, sebagian besar penduduk mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Kesejahteraan mereka tidak layak, bahkan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka sebagai manusia. Imperialisme Barat lewat sistem ekonomi Kapitalisme  secara sistematis memiskinkan dunia Islam. IMF, World Bank, utang Luar negeri, mata uang dolar, dan pasar bebas, telah menjadi sarana-sarana Barat untuk memiskinkan dunia Islam.
Penyebab berbagai persoalan di tengah kaum muslim adalah satu, yakni penjajahan yang dilakukan oleh Barat dan sekutu-sekutunya. Hal itu tidak selalu dalam bentuk penjajahan militer, seperti di Afghanistan, Irak, dan Palestina. Namun, juga dalam bentuk ekonomi dan sistem pemerintahan kapitalis. Barat juga merusak pandangan hidup kaum muslim dan tingkah laku mereka, lewat penjajahan tsaqafah (kebudayaan). Penjajahan ini terjadi terutama setelah keruntuhan Negara Khilafah Islam, yang selama ini menjadi pelindung umat. Berikut adalah langkah-langkah yang akan diambil oleh Negara Khilafah Islam  untuk menyelesaikan persoalan ini:

Membangun Negara Khilafah Ideologis Menjadi Negara Adidaya yang Berpengaruh
Kekuatan sebuah negara terletak pada ideologinya. Artinya, sebuah negara akan kuat kalau dibangun oleh dasar ideologi yang kuat pula. Sebaliknya, negera akan bangkrut kalau ideologinya bangkrut. Amerika Serikat dan sekutunya menjadi imperialis dunia, karena mereka adalah negara yang didasarkan pada ideologi Kapitalis. Demikian pula Rusia, menjadi negara yang kuat saat ideologi Sosialisme dan Komunisme mereka masih kuat. Sebaliknya, Rusia semakin mundur setelah ideologinya ambruk. Tidak jauh berbeda dengan negeri-negeri Islam, kelemahan mereka disebabkan Islam tidak lagi menjadi ideologi bagi sistem kehidupan mereka. Dengan kehadiran Negara Khilafah Islam, umat Islam akan kembali memiliki negara yang ideologis. Negara Khilafah Islam akan mememerintah dan memimpin umat Islam serta mengemban Islam ke seluruh penjuru dunia. 
  1. Mempersatukan negeri-negeri Islam
Terpecahbelahnya umat Islam selama ini, telah digunakan oleh Barat untuk melestarikan penjajahan mereka. Berbagai konflik mereka rancang, baik internal maupun eksternal.  Selama ini konflik-konflik tersebut telah menjadi alat penjajahan Barat. Semua ini berpangkal dari diadopsinya ide Nasionalisme dan Patriotisme oleh negeri-negeri Islam.  Keberadaan Negara Khilafah akan menghilangkan segala bentuk keterpecahbelahan itu. Negara Khilafah Islam akan menyatukan negeri-negeri Islam di bawah satu kepemimpinan, yakni seorang Khalifah. Berbagai krisis akibat Nasionalisme dan persengketaan wilayah tidak akan muncul, karena seluruh negeri Islam dianggap merupakan negeri yang satu. Setiap muslim yang menjadi warga negara Negara Khilafah Islam bisa berpindah ke mana saja dalam wilayah Negara Khilafah Islam, tanpa memerlukan paspor atau visa. Tidak ada perbedaan tanah Sudan dengan Qatar, Irak dengan Kuwait, Irak dengan Iran, Malaysia dengan Indonesia, semuanya adalah tanah kaum muslim. Kesetiaan kaum muslim  juga bukan pada wilayah mereka masing-masing, tapi kepada Islam.
Dengan menyatukan seluruh negeri Islam, kekuatan Negara Khilafah Islam akan sangat luar biasa. Dari potensi ekonomi, dari segi kekayaan alam negeri-negeri Islam merupakan negeri yang sangat kaya. Dunia Islam mengendalikan 60 % cadangan minyak dunia, Boron (40%), Fosfat (50%), Perlite (60%), Tin (22%), dan  bahan alam penting lainnya seperti  Uranium. Negeri-negeri Islam  secara geografis  menempati posisi  yang strategis di dunia, terutama jalur laut. Kaum muslim menguasai daerah-daerah lalu lintas dunia yang  penting, seperti Gibraltar di Mediterania barat, Terusan Suez di Mediterania Timur, selat Balb al-Mandab di Laut Merah, selat Dardanelles dan Bosphourus yang menghubungkan jalur laut Hitam ke Mediterania, menguasai selat Hormuz di Teluk. Di timur terdapat selat Malaka yang merupakan lokasi strategis di Timur Jauh. Selama ini Baratlah yang menguasai daerah-daerah strategis tersebut dengan berbagai alasan.
Dengan penyatuan dunia Islam, kekuatan bersenjata Negara Khilafah Islam akan sangat luar biasa. Dengan jumlah umat Islam di dunia yang lebih dari satu miliar, militer Negara Khilafah akan menjadi angkatan bersenjata yang sangat kuat. Seandainya satu persen saja direkrut jumlah tentara Islam lebih dari 10 juta. Tentu saja tidak hanya jumlah, Negara Khilafah Islamiyah akan berpikir keras untuk mengembangkan teknologi militer yang canggih. Dari segi sumber daya, kaum muslim memiliki pakar-pakar, ahli sains, serta ahli teknologi yang sangat banyak dan berkualitas. Turki dan Mesir saja memiliki lebih dari 560 ribu ilmuwan dan teknisi. Masalahnya selama ini potensi SDM yang luar biasa ini tidak digunakan untuk kepentingan Islam. Hal ini disebabkan negeri-negeri Islam tidak memanfaatkan mereka secara optimal. Negara Khilafah Islam tentu akan sangat serius untuk mengembangkan SDM ataupun sains dan teknologinya. Kekuatan sains dan teknologi tentu saja merupakan suatu perkara yang harus secara serius dipersiapkan  untuk menaklukkan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. 

  1. Membebaskan penjajahan ekonomi dengan penerapan politik ekonomi Islam
Negara Khilafah Islam akan membebaskan negeri-negeri Islam dari penjajahan ekonomi Kapitalis. Selama ini penerapan ekononomi Kapitalis secara sistematis telah  memiskinkan dunia ketiga, termasuk dunia Islam. Ekonomi Kapitalis  banyak bicara tentang produksi, tapi melupakan pendistribusian. Yang terjadi adalah kesenjangan dan tidak terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat. Lewat mata uang dolar misalnya, Barat menguasai  keuangan dunia. Bahkan, bisa menggoyang dan mengambrukkan perekonomian sebuah negera. Seperti yang terjadi di Indonesia, krisis ekonomi bermula dari krisis moneter. Ketergantungan pada dolar juga menyebabkan negeri-negeri Islam senantiasa dihantui oleh inflasi yang bisa membuat ambruk ekonominya. Utang luar negeri juga telah menjadi senjata bagi Barat untuk memiskinkan dan menimbulkan ketergantungan dunia Islam.  IMF juga telah menjadi monster yang menakutkan. Dengan alasan investasi dan privitisasi telah terjadi perampokan terhadap negeri-negeri Islam. Negara Khilafah Islam akan menyelesaikan segala persoalan ini.
Politik ekonomi terpenting yang dilakukan oleh Negara Khilafah Islam adalah memenuhi kebutuhan dasar dari setiap warga negara, seperti makanan, kesehatan, pendidikan,  dan lainnya. Distribusi menjadi perhatian utama dalam persoalan ekonomi. Dilakukan juga pemisahan yang jelas antara pemilikan individu, negara, dan umum. Dengan demikian, pemilikan umum yang seharusnya digunakan untuk rakyat, tidak jatuh ke tangan pemilik modal yang kuat. Beberapa langkah pokok akan dilakukan oleh Negara Khilafah Islam antara lain:
    1. memenuhi kebutuhan pokok rakyat, seperti makanan, pakaian dan perumahan;
    2. memberikan fasilitas gratis untuk pendidikan dan kesehatan;
    3. menolak utang luar negeri dari negara-negara Imperialis, seperti AS karena telah nyata-nyata digunakan untuk menguasai kaum muslim;
    4. membangun kemandirian dalam bidang pertanian, industri, dan pengembangan militer. Hal ini akan melepaskan ketergantungan dari Barat;
    5. membangun sistem moneter yang kokoh berdasarkan mata uang emas dan perak; serta
    6. melarang praktik-praktik ekonomi kotor, seperti monopoli, bunga (riba), suap menyuap, dan pemerasan.
Tindakan  Negara Khilafah Islam ini akan membebaskan negeri-negeri Islam dari ketergantungan ekonomi dan politik terhadap Barat. Negara Khilafah yang mandiri akan menjadi  Negara adidaya yang disegani di dunia internasional.

  1. Membangun opini umum di  masyarakat internasional.
Pembentukan opini internasional adalah sangat penting. Opini umum sering dianggap merupakan suatu kehendak masyarakat internasional. Kemampuan sebuah negara untuk membentuk opini akan mempengaruhi dukungan negara lain terhadap setiap kebijakannya. Sebaliknya, opini umum masyarakat internasional bisa sebagai alat penekan terhadap kebijakan suatu negara.
Amerika Serikat adalah negara yang selama ini paling berhasil membangun opini internasional. Seruannya untuk memerangi terorisme internasional disambut dan mendapat dukungan di mana-mana. Pada gilirannya, setiap tindakannya terhadap negara lain yang mengatasnamakan memerangi terorisme internasional kemudian dianggap legal dan wajar. Jadi, berkat kekuatan opini internasional, meskipun AS membantai ribuan muslim di Afghanistan, mengintervensi banyak negara, sepertinya negara-negara lain memakluminya. Sama halnya yang dilakukan oleh Israel. Kemampuan negara itu membangun opini membuat tindakan Israel membunuh dan menghancurkan palestina dianggap sah. Dalihnya adalah memberantas terorisme. Sebaliknya, tindakan pejuang Islam dianggap sebagai tindakan teroris. Jadi, opini umum sangat strategis dalam masyarakat internasional.
Dalam hal ini tugas Negara Khilafah Islam adalah membangun opini umum yang benar tentang Islam dan Negara Islam itu sendiri dalam masyarakat internasional. Langkah ini dilakukan dengan mengirim utusan dakwah ke berbagai negera-negara di dunia yang menjelaskan tentang Islam dan posisi Negara Khilafah Islam yang akan membawa keselamatan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Target pertama, jelas adalah negeri-negeri Islam. Negara Khilafah Islam mengajak negeri-negeri Islam untuk bersatu di bawah naungan Negara Khilafah Islam. Menyakinkan negeri-negeri itu tentang kewajiban dan pentingnya bersatu.  Berikutnya, adalah negara-negara  yang memungkinkan bagi Negara Khilafah Islam untuk menjalin hubungan ekonomi dan persahabatan dengan mereka. Negara-negara seperti ini diserukan untuk bergabung dengan Negara Khilafah Islam atau menjalin perjanjian untuk mendukung Negara Khilafah Islam.
Target ketiga adalah negara-negara kafir imperialis, seperti Amerika Serikat, Prancis, atau Inggris. Negara Khilafah berupaya untuk menyeru negara-negara di dunia untuk melawan penjajahan imperialisme mereka. Membongkar strategi dan rencana-rencana busuk mereka terhadap negara-negara lain. Menunjukkan kebobrokan dan kepalsuan ideologi mereka. Pada gilirannya, negara-negara lain di dunia ini akan bergabung dengan Negara Khilafah Islam, atau paling tidak mendukung Negara Khilafah Islam. Dalam kondisi seperti ini tidak ada legitimasi masyarakat internasional lagi terhadap tindakan-tindakan imperialisme mereka,  termasuk dukungan mereka terhadap Israel.

  1. Membebaskan negeri-negeri Islam yang tertindas
Setelah Negara Khilafah Islam mampu membangun negaranya menjadi negara adidaya yang kuat, lalu menggabungkan negeri-negeri Islam dengan segala potensi SDM dan ketinggian sains dan teknologinya. Negara Khilafah Islam akan melakukan pembebasan terhadap negeri-negeri Islam yang ditindas. Negara Khilafah Islam menyerukan jihad bagi seluruh rakyat untuk bersama-sama membebaskan saudara-saudaranya di Palestina, Khasmir, Bosnia, Afghanistan, dan negeri-negeri Islam lain dari penjajah imperialisme. Tindakan Negara Khilafah ini semakin kuat karena didukung oleh opini internasional yang telah dibangun sebelumnya tentang kebengisan negara-negara imperialis. Negara Khilafah Islam juga akan menjadi pelindung seluruh negeri-negeri Islam dari serangan musuh-musuh Islam. Dalam kondisi seperti ini Negara Khilafah Islam bisa jadi dalam posisi perang terbuka dengan negara-negara imperialis. 

Kesimpulan
Negara Khilafah belumlah berdiri.  Akan tetapi, kita melihat bahwa dalam waktu yang sangat dekat Negara Khilafah pasti akan berdiri.   Pernyataan ini bukan berarti mendahului “ketetapan ghaib”, tetapi ini merupakan hasil pengkajian terhadap realitas tempat kita hidup.  Sesungguhnya, negara-negara besar mulai melemah.  Ide Sosialisme tinggal sisa-sisanya saja.  Kapitalisme yang selalu melakukan perubahan bentuk, mengalami kekeroposan dari dalam.  Tak ubahnya rayap yang memakan tongkatnya Nabi Sulaiman a.s.  Kebusukan Kapitalisme pun telah tersebar ke mana-mana.  Begitu juga negara-negara yang berdiri di negeri-negeri kaum muslim, kerusakannya telah tersingkap, cacat cela mereka telah terkuak dengan lebar.  Akibatnya, umat berlepas tangan dari kekuasaan mereka.   Umat telah mengetahui penyakitnya, sekaligus mereka juga mengetahui bahwa obatnya hanya ada di dalam Islam.   Tidak hanya itu, Rasulullah saw. telah menyampaikan kabar  gembira kepada kita, bahwa kita akan memerangi orang-orang Yahudi atas nama Islam.   Sungguh, waktu dan tahunnya sudah sangat dekat.  Orang-orang Yahudi dari berbagai belahan dunia telah bermigrasi ke bumi Palestina agar kaum muslim mudah untuk menumpas mereka di bumi Isra' dan Mi’raj itu.  
Umat juga sudah tidak percaya lagi dengan agama lain, selain agamanya.   Umat juga sudah berani mendepak dan menghinakan para penguasanya.  Mereka juga sudah muak dengan institusi-institusi pemerintahannya, malah menghinakannya.  Tidak ada lain lagi, kecuali mereka ingin berhukum dengan Islam, menegakkan dan mengibarkan bendera La Ilaha Illa al-Allah.   Adalah para pemuda Islam, mereka berjuang siang dan malam untuk melangsungkan kehidupan Islam dan menegakkan Negara Khilafah Islam ar-Rasyidah.   Sungguh, Allah bersama mereka, menjadi Penyokong dan Penolong mereka.  Allah Swt. berfirman:
﴿وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ﴾
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”(QS al-Hajj [22]: 40). 
Allah juga berfirman:
﴿إِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُومُ الْأَشْهَادُ﴾
“Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (Hari Kiamat)” (QS al-Mu’min [40]: 51).
Atas dasar hal-hal di atas, maka kita melihat bahwa Negara Khilafah akan segera berdiri.   Jarak waktu antara kita dengan berdirinya Negara Khilafah tak ubahnya seperti kita menunggu dari shalat fajar hingga terbitnya fajar, dan dikumandangkannya pekikan, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar”, Allah telah menolong hambaNya, memenangkan tentara-Nya dan menghancurkan musuh-musuh-Nya.  Sungguh Allah tidak pernah ingkar janji.
Imam Ahmad dalam Musnadnya telah meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda: 
»تَكُوْنُ النُّبُوُّةُ فِيْكُمْ مَاشَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلىَ مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا عَاضًا فَتَكُوْنُ مَاشَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ مَا يَرْفَعُهَا ثُمَّ تَكُوْنَ مُلْكًا جَبَرِيًا فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلىَ مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ«
"Atas kehendak Allah, akan datang kepada kalian masa kenabian.  Dan sungguh masa itu akan datang. Lalu, Allah mencabutnya, jika Ia telah berkehendak mencabutnya.  Kemudian, datanglah masa Khilafah ‘Ala Minhaj al-Nubuwwah.    Kemudian, atas kehendak Allah datanglah masa itu. Lalu, Allah mencabutnya, jika Allah berkehendak mencabutnya.  Kemudian, datanglah masa “raja yang menggigit”.  Maka datanglah masa itu atas kehendak Allah.  Kemudian, masa itu dicabut jika Allah telah berkehendak untuk mencabutnya.  Kemudian, datanglah masa “raja pemaksa”.  Dan sungguh, masa itu akan datang atas kehendak Allah. Kemudian, Allah mencabut masa itu jika Dia telah berkehendak mencabutNya.  Kemudian, datanglah, masa Khilafah ‘Ala Minhaj Nubuwwah, kemudian beliau saw. diam.”  
Benarlah sabda Rasulullah saw. Masihkah kita tidak yakin?
Wallahu a’lam bi ash-shawwab